Liputan6.com, Jakarta Perempuan yang mencukur bulu kemaluan berisiko mengalami cedera genitourinaria. Gejala umum dari cedera ini di antaranya, darah di dalam urine (Hematuria), ketidakmampuan buang air kecil, dan memar di bagian sisi, pangkal paha, atau skrotum.
Profesor dari Departemen Urologi di UC San Fransisco, Dr Benjamin Breyer, mengatakan, mencukur bulu kemaluan yang kebanyakan karena permintaan dari pasangan ini justru meningkatkan jumlah kaum hawa mengunjungi unit gawat darurat (UGD).
"Kami percaya hal-hal semacam ini justru meningkatkan angka perempuan yang mengalami cedera dan juga berpotensi mengalami infeksi menular seksual," kata Benjamin Breyer dikutip dari Daily Mail, Kamis (30/6/2016)
Dr Tami Rowen dari Departemen Obstetri, Ginekologi, dan Ilmu Reproduksi UCSF (University of California), menambahkan, prevalensi perempuan yang mencukur rambut kemaluan lantaran permintaan dari pasangan atau tuntutan untuk tampil cantik maksimal terus bertambah di abad 21.
Adanya tekanan dari luar ini membuat kegiatan mencukur bulu kemaluan--yang sebenarnya tidak begitu dianjurkan karena beberapa hal--semakin merajalela dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Jumlah perempuan yang mendatangi dokter untuk masalah ini juga meningkat.
Tami dan tim yang melakukan penelitian terkait kebiasaan perempuan mencukur kemaluan sejak 2013, menemukan beberapa fakta;
- Kecenderungan perempuan usia muda mencukur kemaluan agar terlihat lebih menarik di mata pasangannya, dibanding perempuan berumur 55 tahun.
- Perempuan kulit putih lebih sering melakukan perawatan ini.
- Janda atau perempuan yang ditinggal pergi pasangannya juga sering mencukur bulu kemaluan-nya.
Â
Baca Juga
Advertisement
Â
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.