Liputan6.com, Jakarta Meski keinginan untuk menjadi dokter sempat goyah saat duduk di bangku SMA, tapi Tuhan seolah memberi ilham bagi Stephanie Patricia untuk tetap mengejar impiannya.
Patrice, sapaan hangat dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali ini, memang sangat senang dengan profesi dokter. Dia sangat antusias bila mendengar berbagai cerita mengenai kesehatan dari saudaranya yang menjadi dokter.
Advertisement
"Kalau lihat saudara saya yang dokter datang ke rumah nengokin saudara yang sakit, terus dia bisa meriksa, terus ditanyain apa saja bisa jawab, itu saya seneng banget," ungkap sembari antusias kepada Health-Liputan6.com saat ditemui Rabu lalu, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta, ditulis Jumat (17/11/2016).
Wanita berkulit putih ini juga sempat galau dan ingin menjadi pengacara lantaran sering mengikuti diskusi dan debat berbahasa Inggris saat SMA dulu. Namun, di waktu yang sama suatu peristiwa mengejutkan menimpa sang adik tercinta dan membuat ia mantap menetapkan diri untuk melanjutkan cita-citanya.
"Di usia dua tahun, adik saya terdiagnosis semacam autis. Saat itu saya mikir pingin banget bisa ngurusin ade, kalau nyembuhin kan agak sulit ya, tapi ya saya ingin melakukan sesuatu lah untuk adik saya. Dan itu salah satu motivasi saya kenapa tetap mau jadi dokter," katanya.
Adik kesayangan
David William, adik dari Patricia, mengalami kelainan kromosom bernama Fregile X Syndrom, juga Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Secara fisik, David sama seperti anak lainnya. Hanya saja prilaku dan emosinya tidak stabil, "Waktu dia kecil, wah suka marah banget, kalau marah suka jambak mama ku."
Kala itu sulit mencarikan sekolah yang tepat untuk David, tak semua sekolah mau menampung anak special need seperti dia, sambung Patrice. Namun, kedua orangtua akhirnya memutuskan untuk memberikan pendidikan khusus di rumah.
"Sekarang adik saya home schooling. Anak yang memiliki kebutuhan lebih ini juga pengajarannya beda lho, dia gak diajarin sejarah gitu-gitu, tapi berhitung dasar, belajar konsentrasi, dan permainan-permainan yang enggak berat. Karena dia ini menghitungnya lambat, bacanya lambat, jadi belajarnya ya beda," ungkap wanita yang berdomisili di Bali ini.
Patricia kemudian menyatakan rasa sedihnya bila ia melihat anak-anak yang terlahir seperti adiknya. Baginya, sang adik atau anak-anak lain yang mengalami hal yang sama, sama sekali tidak pernah memilih menjadi anak yang berbeda.
Atas pengalaman pribadi ini, wanita kelahiran Blora, Jawa Timur ini berencana mendirikan sebuah tempat khusus untuk anak-anak special need agar dapat bekerja, khususnya anak-anak yang ada di Bali.
"Saya pingin banget mereka ini jadi anak-anak yang mandiri. Selama ini kan mereka hanya dilatih untuk memiliki kemampuan hidup dasar, untuk mandi, makan, segala macam tapi ya untuk sekadar hiduplah, tapi yang gak bisa kita lupain adalah mereka nanti bisa berkeluarga loh, mereka bisa menikah, mereka juga perlu cari uang, dan nantinya mereka bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri tanpa bergantung dengan orang lain," begitu ucapnya.
Pulau Dewata
Dari Sidoarjo hingga pulau Dewata
Pada 2010, wanita berdarah Semarang-Surabaya ini memutuskan untuk mengambil studi dokter umum di Universitas Udayana, Bali. Sebelumnya Patricia dan keluarga sempat tinggal di Sidoarjo, "Pas aku naik kelas empat SD, aku sama keluarga pindah ke Bali, karena mama sama papa ada usaha di Bali."
Sebelum mendapatkan gelar dokter, Patrice harus menjalani sederet proses pendidikan salah satunya koas. Beruntung ia ditempatkan di Bali. Di pulau Dewata inilah, wanita kelahiran 11 November 1992 ini menyimpan setumpuk pengalaman berharga.
Menengok kondisi kesehatan di Bali yang sangat beragam cukup membuat Patricia senang karena banyak kasus yang bisa ia telusuri lebih dalam. "Nah, freak-nya dokter itu kalau lihat kasus malah senang, tapi di satu sisi, sisi sosial dan kemanusiannya sedih banget kalau lihat anak yang misalnya dari kecil udah kena HIV," ucapnya dengan nada sedih.
Bali adalah provinsi dengan tingkat HIV yang tinggi, kata dia. Bahkan menurut Partice, segala penyakit yang berhubungan dengan sexual transmitted diseases atau penyakit menular seksual, seperti kanker penis cukup mengkhawatirkan di Bali.
Selama satu setengah tahun menjalani koas di RSUP Sanglah, Denpasar, wanita bertubuh langsing ini acap kali menangani ibu-ibu yang melahirkan di waktu yang sama hingga mengautopsi jenazah-jenazah korban pembunuhan.
Setiap beberapa minggu atau beberapa bulan sekali, Patricia juga mendapatkan pengalaman di bidang pediatri, forensik, mata, kesehatan masyarakat, bedah, obgyn, penyakit dalam, saraf, dan THT. Menurutnya, bidang yang paling berat dirasakan saat koas di bagian obgyn.
"Ibu hamil bisa ngelahirin jam berapa aja dan rata-rata kebanyakan tengah malam. Yang paling miris itu kalau datangnya gerudukan langsung banyak gitu, lima ibu sekaligus mau melahirkan. Nah, kan harus dijagain dong semuanya," ungkapnya.
Pernah satu hari, saat ia sedang berjaga malam, Patricia kedatangan tiga ibu sekaligus yang sama-sama ingin melahirkan.
"Paling parah ibu A berojol (melahirkan), abis itu ibu B, ibu C juga, ya gak ekstrem tiga-tiganya langsung sih tapi ya kondisinya kayak begitu. Dan ngeliat ibu-ibu melahirkan itu aduuuh...", ucapnya sambil meringis.
Kejadian ini belum seberapa, Patrice melanjutkan, saat koas di bagian forensik ia mendapatkan banyak kasus kematian. Mulai dari bayi yang dibakar, meninggal tenggelam, pembunuhan, dan tabrakan.
Saat mendapatkan jenazah, hal yang pertama kali dilakukan adalah mengidentifikasi tubuh bagian luar. "Namanya itu periksa luar dilihat dari tanda-tandanya kayak dia punya tato gak, giginya ada gingsul gak, terus ada bekas luka gak, ada bekas operasi gak. Itu biasanya kalau yang identitasnya gak diketahui," ungkap wanita berambut panjang ini.
Hal yang paling sulit dilupakan selama di bagian forensik, kata dia, pertama kali melihat belatung di tubuh manusia dan ia harus mengukur belatungnya. "Pengukuran belatung dilakukan untuk mengetahui berapa lama mayat tersebut meninggal. Bayangin aja ya kita cari belatung yang paling panjang."
Lebih miris ketika ia menyaksikan sendiri seorang jenazah bayi yang hangus dibakar. "Jadi pas baru lahir mungkin meninggal, terus dia dibuang di tong sampah lalu dibakar. Ia ditemukan sudah membusuk, gosong lagi," katanya.
Wanita yang hobi membaca ini memang tak tahan melihat paien bayi atau anak-anak yang menderita. Hal lain yang membuatnya sedih adalah melihat anak-anak yang baru lahir sudah terinfeksi virus HIV.
"Ada juga yang usia satu tahun tubuhnya kurus banget karena ibu dan bapaknya yang positif HIV. Ada pasien yang gak mau minum obat jadi ya tubuhnya seperti tulang yang dibungkus kulit," ungkapnya.
Menciptakan aplikasi Medi-call
Awal tahun ini, Patricia akan segera menyandang predikat dokter. Kini ia sedang melakukan internship program di RSUD Mangusada, Badung. Ia mengatakan belum ingin melanjutkan pendidikan kedokterannya ke tahap spesialisasi karena ada beberapa hal yang masih perlu ia pertimbangkan.
"Saya suka topik-topik yang klinis kayak penyakit dalam atau pediatri, cuma karena saya cewek jadi banyak yang harus dipertimbangkan sih karena saya ingin berkeluarga, menjadi ibu, punya suami. Jadi kalau dokter di bidang itu pasti sibuk ya karena pagi harus ke rumah sakit, pulang siang, nanti siang tidur sebentar, malemnya praktik lagi. Jadi saya masih menimbang-nimbang apakah saya harus ambil spesialisasi," ujarnya.
Bisa dikatakan, Patrice adalah dokter umum yang masih tergolong sangat muda. Tapi ia ternyata menyimpan setumpuk mimpi khususnya di bidang kesehatan. Perlahan tapi pasti, wanita ini mencoba mewujudkan satu per satu, salah satunya adalah menciptakan aplikasi kesehatan yang bisa diunduh di ponsel.
"Aku dengan empat teman dokter membuat aplikasi Medi-call, jadi ini aplikasi yang bergerak di bidang kesehatan yang sistemnya location based seperti gojek, grab, uber, tapi ini dokter yang datang ke rumah," jelasnya.
Menurut Patrice dan rekan-rekannya, menjadi seorang dokter di era saat ini sangat banyak tantangannya. Menjadi dokter ini pun tidak 100 persen enak seperti yang sering orang bilang.
"Jadi dokter ada banyak risikonya, banyak gak enaknya juga. Nah dari situ, kita mikir-mikir gimana sih caranya ini supaya seorang dokter ini jauh lebih enak, dari sisi fleksibilitas waktunya untuk menjalani kehidupan pribadinya gitu. Jadi dengan Medicall ini kami ingin mempermudah dokter, agar gak terikat sama klinik atau sama rumah sakit," ujarnya.
Selain membantu sesama dokter, berdirinya aplikasi ini juga bertujuan untuk membantu masyarakat di bidang kesehatan. Dengan aplikasi ini, sistem akan mencari dokter yang tercepat bisa menangani pasien.
"Aplikasi ini akan mencarikan dokter dengan jarak radius lima kilometer atau dokter yang terdekat dari tempat pasien. Hingga saat ini sudah ada 100 dokter di Bali yang bersedia bekerjasama dengan usaha Patrice dan koleganya," ujarnya.
Hikmah jadi dokter
Hikmah menjadi dokter
Menjadi dokter mungkin adalah impian sebagian orang. Tapi bagi Patrice, profesi ini cukup meninggalkan dua pembelajaran. Pertama, ia bisa menolong orang lain dengan ikhlas. Dan kedua, membuatnya semakin bersyukur.
"Terjun di dunia kesehatan itu membuat kita semakin bersyukur, melihat tubuh yang hebat dan diciptakan sangat sempurna. Kalau ngeliat orang yang sakit ya kita gak bisa melawan karena semua itu Tuhan yang kasih," ujar dokter muda ini sambil tersenyum.
Â
Biodata
Nama :Â Stephanie Patricia
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Blora, 11 November 1992
Alamat : Jl. Ida Bagus Oka, Gang Keris No. 2, Denpasar
Latar Belakang Pendidikan
2004-2007 : SMPK Santo Yoseph Denpasar
2007-2010 : SMAN 7 Denpasar
2010-2016 : Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pengalaman Kerja
1. Personal Assistant for Vice President of Thailand National Olympic Committee in Bali
Asian Beach Games 2008
2. Personal Assistant for Vice President of Thailand National Olympic Committee in Sea
Games 2011
3. Co founder MEDI-CALL
Penghargaan Ilmiah
1. Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa Tingkat Nasional Sriwijaya Medical
Scientific Olympiad (SMSO) Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang, 2012
2. Penerima Dana Hibah PKM-P Dikti 2012
3. Finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Mahasiswa Tingkat Nasional Scientific
Atmosphere (SA) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, 2013
4. Semifinalis literature review of Indonesia (Bio)Medical Students Congress (INAMSC),
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Indonesia, Jakarta, 2013
Â