Anak SMU Lebih Rentan Bunuh Diri Dibanding Anak SMK

Pelajar sekolah menengah umum (SMU) rupanya lebih rentan bunuh diri dibanding pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK).

oleh Liputan6dotcom diperbarui 19 Sep 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2017, 16:00 WIB
Percobaan Bunuh Diri Pelajar SMA Cenderung Tinggi
Pelajar sekolah menengah umum (SMU) rupanya lebih rentan bunuh diri dibanding pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK).

Liputan6.com, Jakarta Kasus bunuh diri di Indonesia saat ini semakin meningkat, terutama pada remaja usia sekolah menengah atas (SMA). Penyebab utama bunuh diri di kalangan remaja adalah karena depresi.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) tahun 2013, prevalensi gangguan mental emosional pada anak remaja usia 15 tahun ke atas sebanyak 6 persen. Sedangkan pada tahun 2007 sebanyak 14 persen. 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi, depresi akan menjadi penyebab kedua "cause of illness" pada tahun 2020 mendatang. Setiap tahun sebanyak 800.000 orang meninggal karena bunuh diri. Secara global pada tahun 2012 bunuh diri merupakan penyebab kedua kematian tertinggi pada remaja 15-29 tahun.  

"Penyakit kedua terbesar setelah kardiovaskular adalah masalah gangguan jiwa, kanker aja kalah," kata dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ saat ditemui di Rumah Sakit Jiwa Soeharto Heerdjan, Jakarta, Senin (18/9/2017).

Remaja yang bersekolah di sekolah menengah umum (SMU) mempunyai risiko tiga kali lipat untuk mengalami masalah emosional dibandingkan dengan murid sekolah menengah kejuruan (SMK).

Noriyu, sapaan akrab dokter ini, mengatakan, bukan anak nakal yang mengalami depresi. Mereka yang rentan depresi adalah anak berprestasi yang selalu di-bully oleh teman-temannya, karena mengumpulkan tugas tepat waktu dan terlalu taat pada peraturan.  

 

Remaja perempuan merasa lebih kesepian dari remaja pria

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Tahun 2015 menyatakan, siswa perempuan merasa lebih kesepian daripada laki-laki. Perempuan lebih khawatir daripada laki-laki. Perempuan memiliki ide bunuh diri sebanyak 6,5 persen, sedangkan laki-laki 4,5 persen.

"Wanita hanya sebatas ide, sedangkan laki-laki tidak ada kecenderungan dan melakukan eksekusi" tambah Noriyu.

Tingkat bully yang tinggi dapat memicu emosional, sehingga tidak jarang orang yang mengalami hal seperti ini merasa depresi dan ingin melakukan percobaan bunuh diri. Menurut Noriyu, sekolah harus memiliki program kesehatan jiwa yang menangani masalah emosional yang dikembangkan dengan rancangan gender base.

"Sekolah wajib memberikan screening, sehingga menjadi referensi untuk membuat (panduan) kesehatan jiwa berbasis sekolah dengan acuan dari kementrian kesehatan," imbuh Noriyu. (Michelle Tania)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya