Mengapa Sikap Intoleran Terus Hadir di Negeri Ini?

Beberapa waktu terakhir, intoleransi terus hadir di Indonesia. Terkait perbedaan pendapat, suku atau agama.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 16 Nov 2017, 15:30 WIB
Diterbitkan 16 Nov 2017, 15:30 WIB
20170215-Ada Mural Kebangsaan Dekat TPS Megawati Mencoblos-Jakarta
Warga melintas di depan tulisan toleransi di Lapangan Kebagusan, Jakarta, Rabu (15/2). Jelang menggunakan hak pilihnya pada Pilkada, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri menggoreskan tinta pada salah satu gambar. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Kasus intoleransi terus hadir di Bumi Nusantara akhir-akhir ini. Baru-baru ini, sejoli asal Cikupa, Tangerang, menjadi korban intoleransi massa. Mereka dituduh berbuat mesum, langsung diarak dan ditelanjangi. Massa yang ada saat itu meminta pasangan ini mengaku telah berbuat mesum.

Sang pemuda yang berinisial R (28) menampik karena dia saat itu mendatangi M (20) untuk membawakan makanan. Lalu, R ke kamar mandi untuk gosok gigi.

Namun sayang seribu sayang, massa tak percaya alasan sejoli itu. Massa tidak membawa pasangan ini ke pihak berwajib. Mereka malah menelanjangi dan melakukan kekerasan fisik pada keduanya.

Setelah diperiksa polisi, rupanya pasangan tersebut memang bukan pasangan mesum."Bukan pasangan mesum. Memang mau nikah," jelas Kapolresta Tangerang AKBP Sabilul Alif.

Menengok Kamus Besar Bahasa Indonesia di laman kbbi.web.id, kata `intoleran` memiliki arti tidak tenggang rasa, tidak toleran. Sementara kata `toleran` sendiri berarti, bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. 

 

Saksikan juga video berikut ini: 

 

Rebutan kursi KRL dan penolakan pembangunan tempat ibadah

Lini masa juga mencatat tindakan intoleransi lain yang terjadi pertengaan tahun ini, tepatnya Juni 2017. Seorang wanita meluapkan kekesalannya di media sosial karena dibangunkan oleh petugas Kereta Rel Listrik (KRL). Dia harus rela berdiri agar kursi itu diberikan untuk ibu hamil.

Lewat unggahan status di Facebook, wanita ini mempertanyakan kenapa ibu-ibu hamil berhak diberikan tempat duduk di KRL. Kenapa ibu hamil juga menjadi prioritas, padahal dia juga penumpang. Padahal, telah ada aturan jelas mengenai prioritas pengguna tempat duduk di KRL yang dicantumkan di tiap dinding gerbong kereta. 

Tak cuma itu, kasus intoleransi pembangunan rumah ibadah juga sering hadir di Indonesia. Walau izin sudah ada, masih ada yang menolak pembangunan rumah ibadah. Satu di antaranya penolakan pembangunan Gereja Santa Clara di Jalan Lingkar Luar Bekasi Utara.

Penolakan atas pembangunan gereja itu sampai menimbulkan kericuhan. Massa terus melempari polisi yang berjaga dengan batu, bambu, dan botol air mineral. Beberapa kali, gas tembakan air mata juga dilontarkan polisi untuk membubarkan massa.

"Kita tak ingin, daerah kita berdiri gereja yang tak berizin. Kita tak akan bubar sebelum Wali Kota mencabut izin pembangunan Gereja," ujar salah satu orator di atas mobil komando, Jumat (24/3/2017).

 

Terkait kepribadian yang tidak kuat

Menanggapi masih adanya intoleransi, terutama yang berbau agama dan ras, psikolog klinis dewasa PION Clinician Rena Masri menilai ada faktor kepribadian yang tidak kuat.

"Jadi, emang karakter kita enggak kuat. Gampang sekali terprovokasi. Emang tipikal karakter kita seperti itu," kata Rena saat dihubungi Health-Liputan6.com pada Kamis (16/11/2017).

Rena mencontohkan misalnya saat mendengar ada seseorang yang hendak beribadah lalu dihalang-halangi. Salah satu reaksi yang muncul dari individu adalah marah atau langsung tersulut, bukannya berpikir secara jernih terlebih dahulu.

Menurut Rena, pendidikan awal di keluarga punya peran besar membuat seseorang jadi sosok toleran atau malah intoleran. Ketidakhadiran orangtua di awal perkembangan anak membuat mereka jadi sosok yang tidak secara sadar melakukan sesuatu. Hal ini membuat seseorang jadi mudah melakukan sesuatu yang tidak dipikirkan secara jernih, termasuk tindakan intoleran.

Oleh karena itu, Rena mengatakan pentingnya orangtua mengajari anak sejak kecil untuk berpikir dan berbicara dua arah.

"Orangtua tetap harus mendengarkan pendapat anak, kalau pendapat anak salah, coba komunikasikan lagi sampai dia memahami bahwa pilihannya mungkin tidak baik. Ketika orangtua menghargai pendapat anak, dia pun saat tumbuh besar akan menghargai pendapat orang lain," saran Rena.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya