Liputan6.com, Jakarta Pelaku aksi teror bom Surabaya, yang meledakkan tiga gereja, diduga bermodus bom bunuh diri. Tragedi tersebut terjadi pada Minggu, 13 Mei 2018 dan memakan korban jiwa. Hingga Senin (14/5/2018) pagi, jumlah korban tewas mencapai 14 orang. Enam korban di antaranya merupakan pelaku.
Baca Juga
Advertisement
Yang mengejutkan, keenam keluarga pelaku masih satu keluarga, terdiri dari ayah, ibu dan empat orang anaknya. Mereka adalah DS (ayah), PK (ibu) dan anak-anaknya, yakni FS (12), PR (9), YF (18), dan FH (16).
Ledakan bom bunuh diri berturut-turut berlokasi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur. Ketiga gereja adalah Gereja St. Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, GKI Diponegoro Jalan Diponegoro, dan GKI Wonokromo di Jalan Arjuno terjadi pada pukul 07.40 WIB.
Terkait dengan dugaan modus bom bunuh diri, pakar psikolog forensik Reza Indragiri Amriel mengungkapkan, persidangan merupakan cara yang tepat.
"Pelaku bom bunuh diri yang tewas selayaknya tetap disidang. Ini disebut sebagai persidangan pascakematian pelaku (posthumous trial, post-mortem trial)," kata Reza dalam pesannya kepada Health Liputan6.com, ditulis Senin (14/5/2018).
Post-mortem trial patut diterapkan sebagai tindak atas pelaku kejahatan semacam itu, seperti yang terjadi pada pelaku bom bunuh diri Surabaya yang tewas.
Â
Â
Simak video menarik berikut ini:
Ikut sertakan anak-anak
Persidangan pascakematian pelaku juga patut diterapkan karena pelaku menyertakan anak-anak untuk ikut melakukannya. Perilaku tersebut turut menyeret anak-anak sebagai korban.
"Setidaknya Undang-Undang Perlindungan Anak dapat diterapkan. Siapa pun tidak boleh mengajak anak melakukan kekerasan," Reza menjelaskan.
Posthumous trial adalah persidangan pidana pelaku bom (yang tewas). Pelaku secara sah akan divonis bersalah. Lewat persidangan ini, negara membuktikan, kematian bukan jalan buntu untuk mengejar pertanggungjawaban pelaku.
Â
Advertisement