Liputan6.com, Jakarta Gangguan penglihatan mata minus sudah mendera Pras (23) sejak SD. Tak ayal, ia pun harus memakai kacamata sampai sekarang. Pras beranggapan mata minus yang dialaminya termasuk keturunan (genetik), terutama dari keluarga bapak, yang banyak memakai kacamata.
Baca Juga
Advertisement
Jika biasanya gejala mata minus ditandai dengan penglihatan yang buram dan tidak jelas. Lain halnya dengan Pras, dirinya masih merasa baik-baik saja. Posisi duduk di tengah dan belakang saat di kelas masih membuat ia melihat jelas tulisan di papan tulis.
“Awal-awalnya itu aku pusing terus menerus. Sekitar kelas 3 atau 4 SD deh. Sampai beberapa minggu berlalu, pusingnya jadi terasa tiap hari. Akhirnya, aku dibawa ke optik. Karena kemungkinan udah ada kecurigaan mata minus. Saat diperiksa waktu masih minusnya di bawah 0,5,” cerita Pras saat mengobrol santai dengan Health Liputan6.com pada Jumat, 5 Oktober 2018.
Artikel terkait: Buta Mendadak Usai Tenggak Miras Oplosan
Pras tidak mengingat secara pasti, minus yang paling parah itu mata kanan atau kiri. Kini, mata kiri Pras minus 4,5 dan mata kanan lebih dari minus 4,5. Di masa-masa awal pakai kacamata, Pras tidak selalu memakai kacamata.
“Dulu, masih pakai (kacamata)-lepas gitu. Berangkat sekolah dan pas di sekolah pakai kacamata. Kalau sudah pulang sekolah, sampai di rumah ya dicopot kacamatanya,” Pras melanjutkan.
Artikel terkait: Lensa Kontak atau Kacamata, Mana yang Lebih Aman?
Setelah memakai kacamata, Pras merasa aktivitas sehari-harinya tetap berjalan normal. Ia tidak merasa terganggu menggunakan kacamata.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), ada lebih dari 285 juta penduduk dunia mengalami gangguan penglihatan. Kondisi ini bisa menurunkan kualitas hidup (quality of live) dan produktivitas seseorang dalam melakukan pekerjaan ataupun aktivitas harian (acitivites of daily living).
Artikel terkait: SIGALIH, Kado dari Kemenkes untuk Pasien Gangguan Penglihatan
Tak cuma itu, ada juga dampak sosial yang akan timbul, seperti rentan terhadap masalah kesehatan, risiko jatuh, depresi, dan ketergantungan pada individu lain—dalam hal ini yang terdekat adalah keluarga. Bahkan, dampak psikologis terkait kepuasan hidup maupun status emosional.
Memperingati Hari Penglihatan Sedunia 2018 pada 9 Oktober, jurnalis Liputan6.com menayangkan tulisan khusus seputar isu kesehatan mata. Artikel ini merupakan tulisan PERTAMA dari empat rangkaian tulisan. Tulisan pertama, membahas jenis gangguan penglihatan yang lebih banyak menyerang anak-anak.
* Update Terkini Asian Para Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru di Sini.
Simak video menarik berikut ini:
Kelainan refraksi
Wakil Ketua Komite Mata Nasional Aldiana Halim mengatakan, kelainan refraksi merupakan gangguan penglihatan yang paling banyak menyerang anak-anak. Kondisi ini membuat membuat suatu benda atau tulisan terlihat buram dan tidak jelas terlihat seperti yang Pras alamis aat kecil.
Pada prosesnya, bayangan benda akan jatuh di depan retina pada mata miopia (mata minus). Hal ini menghasilkan gambaran benda jauh yang kabur. Penggunaan kacamata dapat membantu penglihatan menjadi jelas dan tajam.
Jurnal berjudul Prevalance of Myopia and its Related Risk Factors among Medical Students in Saudi Arabia yang dipublikasikan 2017 memaparkan, miopia termasuk bentuk bias refraksi yang paling sering dialami. Kondisi mata minus ini menjadi penyebab utama gangguan penglihatan jarak jauh yang dialami orang di seluruh dunia.
Studi melaporkan ada variasi prevalensi miopia antar daerah dan kelompok etnis. Dalam sebuah penelitian yang menggunakan 145 data studi mencakup 2,1 juta peserta, sebanyak 1.406 juta orang terdeteksi dengan miopia. Angka tersebut juga mewakili 22,9 persen dari populasi dunia.
Di Arab Saudi, prevalensi kelainan refraksi pada anak-anak meningkat hingga 18,5 persen. Anak-anak sekolah dasar yang berusia 6-14 tahun banyak mengalami miopia.
“Gangguan penglihatan miopia pada anak memang lebih banyak menyerang anak-anak sekolah, yang prevalensinya 20 persen. Rentang usia antara usia 11-15 tahun. Jadi, anak-anak perlu kacamata,” jelas Wakil Ketua Komite Mata Nasional, Aldiana Halim dalam acara konferensi pers Hari Penglihatan Sedunia 2018 di Kementerian Kesehatan, Jakarta pada 2 Oktober 2018.
Advertisement
Mainkan gawai di tempat gelap
Ada beberapa penyebab yang membuat mata minus di usia anak. Kebiasaan buruk seperti memainkan gawai di tempat gelap atau menjadikan gawai sebagai sumber penerangan. Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) M. Sidik menjelaskan,
"Jangan jadikan gawai sebagai sumber cahaya dan bermain saat gelap. Ini akan merusak struktur dan fungsi mata, yang akan berujung pada gangguan mata," jelas Sidik, yang sehari-hari berpraktik di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Kebiasaan memainkan gawai tanpa henti dalam jarak dekat akan membuat lensa mata menjadi cembung. Ketika melihat layar gawai dalam jarak dekat, cahaya akan jatuh di depan retina.
Lensa mata yang berubah cembung kian lama menyebabkan kekakuan. Penglihatan dapat terganggu. Cahaya biru (blue lights) yang terpancar memengaruhi retina. Cahaya ini diserap molekul vital di retina dan memicu produksi bahan kimia beracun yang membunuh sel.
Tim peneliti dari University of Toledo di Ohio, Kanada mendesak masyarakat agar tidak memainkan gawai (ponsel) dalam kegelapan. Pelebaran pupil menyebabkan cahaya biru yang lebih berbahaya memasuki mata, dilansir dari Mail Online.
Kebiasaan memainkan gawai dalam jangka waktu lama juga akan memicu gangguan penglihatan. Pras mengakui, mata minus yang dialami bisa dikatakan dari kebiasaaan main gim dan berlama-lama di depan komputer.
Pada tahap yang parah, efek dari cahaya biru yang masuk ke mata akan menyebabkan degenerasi makula terkait usia yang jadi penyebab kehilangan penglihatan bagi individu yang berusia 50 tahun atau lebih, menurut National Eye Institute.
Kondisi ini terjadi ketika makula, area oval dekat pusat retina, yang memungkinkan penglihatan tajam rusak. Penderita akan mengalami penglihatan kabur. Bahkan titik buta dalam penglihatan pusat kian membesar seperti retina mata yang telah mati.
Cegah mata minus
Untuk mencegah gangguan penglihatan dan mata minus, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Anung Sugihantono menyarankan untuk menghindari membaca sambil tiduran dan di tempat gelap. Lalu, beri jeda atau istirahat ketika memainkan gawai dan terlalu lama di depan komputer atau laptop.
Menurut Sidik, adanya jeda waktu membuat mata beristirahat. Caranya, istirahatkan mata selama 10 menit. Selama istirahatkan mata, hindari sekadar membuka ponsel sebentar. Mata harus istirahat secara penuh.
Di sisi lain, Anda bisa istirahat sejenak bila mata sudah terasa lelah. Anda bisa juga terapkan olahraga mata. Olahraga mata untuk menjaga fungsi mata
Dilansir dari Healthline, ada beberapa cara olahraga mata. Anda bisa memegang jari telunjuk beberapa sentimeter dari mata. Fokus pada jari. Perlahan-lahan jauhkan jari dari wajah, fokus pada jari. Kemudian jari dekatkan kembalikan ke mata. Ulangi cara ini sampai tiga kali.
Advertisement