Liputan6.com, Jakarta Tidak hanya bagi pasien, penyakit kanker juga sesungguhnya membebani negara. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengungkapkan sampai saat ini, setidaknya 2,5 triliun rupiah sudah dihabiskan untuk menangani masalah tersebut.
Nila mengatakan sebelum 2013, Jaminan Kesehatan Nasional belum digunakan, sehingga belum diketahui pembiayaan negara pada saat itu. Meski begitu, dari tahun ke tahun pembiayaan meningkat dan berakhir di angka kisaran 2,5 triliun rupiah.
Baca Juga
"Kanker termasuk penyakit katastropik. Paling tinggi jantung, gagal ginjal, kanker, diabetes," kata Nila usai peresmian pabrik obat onkologi CKD Otto Pharmaceutical di Cikarang, Jawa Barat, ditulis Rabu (10/7/2019).
Advertisement
Secara keseluruhan, penyakit katastropik sendiri menghabiskan 20 sampai 30 persen dana dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Proses Pemeriksaan yang Panjang
Perawatan onkologi bagi satu pasien kanker sendiri tidaklah mudah. Karena itu, biaya yang dibutuhkan juga besar. Termasuk saat pemeriksaan itu sendiri.
"Gejalanya bisa kadang-kadang kita tidak tahu. Misalnya leukemia atau kanker darah, biasanya karena darah putih berlebih darah merah kurang kita jadi lemas, gampang flu dan sebagainya. Kemudian pada saat periksa lab baru diketahui sel darah putih meningkat," kata Nila memberikan contoh.
Setelah itu, pasien masih membutuhkan pemeriksaan jenis sel.
"Setiap sel itu bisa jadi kanker. Jadi bisa dilihat lagi. Anda bisa bayangkan kita harus periksa lagi," tambahnya. Belum lagi pemeriksaan sumsum tulang dan CT scan untuk menemukan apakah ada massa.
"Rontgen biasa tidak bisa karena yang kelihatan hanya tulang, yang mau diperiksa soft tissue."
Pasien lalu melakukan periksa MRI untuk melihat apakah ada organ vital seperti saraf yang terpengaruh. Kemudian, pemeriksaan metastasis atau penyebaran juga harus dilakukan sebelum dilakukan tindakan.
Â
Advertisement
Produksi Obat Dalam Negeri Pangkas Biaya
Proses tersebut belum termasuk tindakan seperti kemoterapi dan pengobatan.
Maka dari itu, keberadaan investasi dan kerja sama dari luar negeri seperti produksi obat kanker di Indonesia sangatlah dibutuhkan. Salah satu manfaatnya adalah memangkas biaya yang biasanya dihabiskan untuk distribusi.
"Minimal tidak ada harga distribusi. Biaya perjalanan obat tidak ada sehingga bisa lebih murah. Coba dipesan dari Korea Selatan, dia mesti shipping dulu dari sana ke sini, berapa itu biayanya," ujarnya.
Selain itu, untuk pengembangan industri farmasi, ini juga berguna bagi industri farmasi dalam negeri.
"Mereka mengajarkan kita dan kita juga belajar," kata wanita 70 tahun ini.