Jarak Ideal Usia Antara Kakak dan Adik Menurut Psikolog

Menurut psikolog, ada jarak usia ideal antara kakak dan adik

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Sep 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2019, 16:00 WIB
[Bintang] Ilustrasi Kakak-Adik
Enam film yang sanggup bikin kamu iri dengan hubungan harmonis antara tokoh kakak dan adik didalamnya. Foto: via speakingtree.in

Liputan6.com, Jakarta Menurut psikolog Anna Surti Ariani, jarak yang ideal antara anak pertama dan kedua adalah dua sampai lima tahun. Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menyarankan adanya jarak dua tahun sembilan bulan. 

Hal ini dibuktikan dari penelitian berbagai ahli, khususnya ahli psikologi. Bahwa jarak 2-5 tahun bisa mengurangi frekuensi pertengkaran. 

Serta bisa memberi kemudahan bagi ibu dalam mengasuh kedua anak. Memberikan jarak itu juga bisa menghindari si kakak dari potensi pengalaman buruk harus duduk sekelas dengan sang adik, bila terpaksa tinggal kelas.

Mengingat tidak sedikit orangtua yang memiliki buah hati dengan jarak usia di bawah 2 tahun, psikolog itu memberikan tips menghindari konflik antar anak :

1. Jangan membandingkan anak dengan alasan apapun

Hal ini sangat umum terjadi, khususnya saat kedua anak sudah mulai bersekolah. Padahal dengan membandingkan, si Kecil bisa menjadi rendah diri atau tidak diinginkan dan lain sebagainya.

2. Orangtua perlu membesarkan hati

Untuk memahami bahwa kedua anak berbeda. Serta menjelaskan kepada mereka bahwa kondisi keduanya berbeda. Walau hal ini sulit dilakukan terhadap anak yang perbedaan usianya di bawah 2 tahun.

Tanamkan pada setiap anak bahwa mereka berbeda. Tunjukkan apa sisi positif masing - masing anak. Membimbing perkembangan sesuai bakat alami dan keunggulan tiap anak.

3. Tetap meluangkan waktu untuk setiap anak

“Perlu ada waktu khusus untuk masing-masing anak. Misal ibu pergi sama si kakak doang. Besoknya si ibu pergi bareng adik. Itu akan mengurangi kecemburuan di antara mereka,” kata Nina.

 

Hambatan Memberi Jarak

Jarak 2-5 tahun memang ideal secara psikologis, tapi tuntutan bagi pasangan yang sudah menikah mempersulit hal itu.

Tuntutan itu tidak berhenti pada anak pertama tetapi adanya dorongan untuk segera menambah jumlah anak. 

“Menghadapi tuntutan sosial tersebut selayaknya seorang ibu berdaya untuk memilih apakah dan kapan ingin hamil dan memiliki anak. Dengan memilih, maka ia jadi lebih bertanggung jawab dalam menjalankan konsekuensinya,” kata Anna.

Merencanakan kehidupan berkeluarga bahkan dari sebelum menikah bisa memberikan waktu bagi perempuan untuk mempersiapkan dan mengembangkan dirinya. Disarankan untuk menyelesaikan sebanyak mungkin masalah dari sebelum masalah itu terjadi.

Dukungan suami sebagai pasangan dan pemimpin keluarga juga sangat penting. Dalam artian bisa membantu istri dalam menangani hambatan yang ada dalam menentukan kapan menambah jumlah anak.

“Dengan adanya keterlibatan suami, hambatan ini bisa diminimalisasi dan diatasi. Dengan demikian keluarga dapat mengurangi terjadinya kehamilan tidak direncanakan, dan sebaliknya dapat menciptakan keluarga yang lebih bahagia,” jelas Nina.

Penulis : Selma Vandika   

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya