Haid Lebih Ramah Lingkungan dengan Menstrual Cup

Menstrual cup untuk menampung darah menstruasi ini dinilai bisa meminimalisir sampah.

oleh Arie Nugraha diperbarui 09 Feb 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 09 Feb 2020, 10:00 WIB
Menstrual Cup
Ilustrasi Foto Menstrual Cup (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Penggunaan menstrual cup kian booming. Wadah untuk menampung darah menstruasi ini dinilai bisa meminimalisir sampah.

Kampanye pengurangan sampah saat ini terus dilakukan oleh berbagai kalangan. Baik itu dari pemerintah, perusahaan, organisasi non profit, masyarakat sampai dengan individu.

Paling mengerikan adalah keberadaan sampah plastik. Sampah plastik yang tergolong anorganik ini, bisa diurai oleh tanah dalam kurun waktu 50 - 100 tahun. Sedangkan untuk puntung rokok 10 tahun dan kaleng minuman ringan kemasan alumunium selama 80 - 100 tahun. 

Seluruh jenis sampah yang disebutkan, boleh dibilang dihasilkan oleh seluruh gender bahkan maskulin. Namun pernahkah terpikir, kemana perginya sampah pembalut perempuan sekali pakai ? Tidak ada yang tahu.

Bentuknya seperti cawan, berbahan silicon dengan berbagai ukuran. Di Indonesia, menstrual cup masih terbilang jarang digunakan, karena pemakaiannya. 

Sebagian orang masih menganggapnya tabu, lantaran cup harus dimasukkan ke dalam vagina. Tapi, hal itulah yang mengilhami seorang ibu rumah tangga di Bandung, Reita Ariyanti.

“Kebayang nggak banyaknya tambahan sampah setiap bulan kalau haidnya teratur?” kata Reita di kawasan Dago, Bandung, ditulis Jumat, 7 Februari 2020

Sebelum menggunakan menstrual cup, Reita kerap memasukkan pembalut sekali pakai dalam daftar belanja bulanan. Biasanya, Reita membeli pembalut tanpa gel dengan berbagai ukuran. Mulai dari ukuran besar sampai yang terkecil.

Kemudian karena terus terpikir menjadi penghasil sampah anorganik tetap, Reita kemudian beralih menggunakan pembalut kain yang bisa dicuci dan digunakan lagi. Namun rasa bersalahnya tak surut juga, akibat Reita memikirkan pembalut yang bisa dicuci dan dipakai lagi akan menghamburkan banyak air. 

“Akhirnya ketemu ini (menstrual cup). Sebenarnya menemukannya secara kebetulan, ketika membeli popok kain untuk anak,” ujar Reita.

Awalnya terasa aneh

menstrual cup
Menstrual cup. Foto : (Airani Zakaria/Arie Nugraha)

Bukan tanpa kendala saat Reita menggunakannya pertama kali. Perasaan aneh menyergap mamah muda ini. Akibat harus serba higienis.

Tetapi seiring dengan perjalanan waktu, memasang dan melepaskan menstrual cup menjadi lebih mudah. Reita bilang, yang pasti tangan harus dicuci sebelum dan setelah menggunakan menstrual cup.

“Karena terbuat dari silicon, menstrual cup bisa dicuci tanpa harus membuang banyak air dan kembali digunakan. Jangka waktu penggunaannya juga lebih panjang ketimbang pembalut sekali pakai, sekitar 12 jam. Tergantung volume darah yang keluar. Jika dirawat dengan baik, cup bisa tetap digunakan selama 10 tahun,” terang Reita.

Artinya, selama 10 tahun sejak menggunakan cup, Reita tak perlu lagi membeli pembalut sekali pakai. Menstrual cup juga membuat Reita merasa nyaman selama datang bulan. 

Reita bisa beraktivitas dan berolahraga tanpa perlu khawatir kulit iritasi atau darah tembus ke bajunya. Selain itu, ibu dengan satu putri itu pun bisa meminimalisir pengeluaran bulanan.

“Menggunakan pembalut sekali pakai, pembalut kain atau menstrual cup memang menjadi pilihan. Tapi jika ingin beralih menggunakan menstrual cup, agar memilih menstrual cup dengan merek terpercaya. Perbanyak referensi sebelum memutuskan untuk membeli dan menggunakannya,” jelas Reita.

Reita menyarankan untuk yang belum menikah, sebaiknya mematangkan niat dan memang punya alasan untuk menggunakan menstrual cup. Pilihan sederhananya ucap Reita, adalah ingin mengurangi sampah dan menghindari iritasi kulit. Jangan sampai menggunakan cup karena disuruh atau terpaksa.

Pengalaman Reita memelihara kesehatan intim dan menjadi agen zero waste ini pun, akhirnya diceritakan kepada sahabatnya. Kebetulan, sang sahabat yang sedang menyelesaikan pendidikannya di Belanda itu sudah cukup lama mengubah pola hidupnya. 

“Dia tak lagi memproduksi sampah plastik, mengganti transportasinya dengan sepeda dan sedang tertarik dengan menstrual cup. Dari hasil berbagi cerita itulah, banyak teman yang memutuskan untuk mencoba menggunakan menstrual cup,” tutur Reita.   

Alhasil, sahabat Reita yang ada di negeri kincir angin itu mencari keberadaan menstrual cup di toko setempat. Akhirnya, sebelum kembali ke Indonesia, Reita menerima buah tangan dari Belanda yaitu hadiah menstrual cup.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya