Pakar Sebut Perlu Batasi Kunjungan dari Negara dengan Kasus Tinggi COVID-19

Perlu membatasi kunjungan warga negara dari negara yang punya kasus tinggi COVID-19.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 04 Mar 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2020, 22:00 WIB
Intip Penanganan Pasien Virus Corona di Iran
Petugas medis merawat seorang pasien yang terinfeksi virus corona atau COVID-19 di sebuah rumah sakit di Teheran, Iran, Minggu (1/3/2020). Kasus virus corona di Iran mengalami lonjakan tajam dalam beberapa hari. (Ali Shirband/Mizan News Agency via AP)

Liputan6.com, Jakarta Terkait dua orang Indonesia yang positif terinfeksi Virus Corona (COVID-19), pakar epidemiologi menyebut, langkah membatasi kunjungan warga negara asing yang datang ke Tanah Air perlu dilakukan. Khususnya, WNA dari negara-negara dengan kasus tinggi COVID-19. 

Ditemui di Gedung Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Komplek Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, pakar Epidemiologi Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif mengungkapkan, adanya situasi wabah COVID-19 membuat setiap negara melakukan langkah penanganan terbaik.

"Dalam situasi seperti ini hal yang wajar setiap negara melakukan upaya terbaik. Kita juga melihat dengan jelas, beberapa negara menjadi hotspot atau yang ada kasus tinggi COVID-19, seperti Iran, Italia, dan Korea Selatan," tegas Syahrizal, Rabu (4/3/2020).

"Bahkan Singapura yang berbatasan dengan kita punya kasus baru. Kita harus membatasi kunjungan dari negara hotspot COVID-19 juga."

Bukan hanya membatasi WNA yang datang saja, warga negara Indonesia yang ingin berkunjung ke negara-negara hotspot dan terkonfirmasi laporan COVID-19 juga perlu diberitahu.

"Untuk warga negara kita sendiri harus dicegah bila ingin menuju ke negara-negara yang menunjukkan kasus tinggi COVID-19. Ini saatnya kita membatasi penumpang yang datang dan sangat berhati-hati sekali," tambah Syahrizal.

Simak Video Menarik Berikut Ini:

Kartu Kewaspadaan Kesehatan

Intip Penanganan Pasien Virus Corona di Iran
Petugas medis mengenakan pakaian pelindung saat berkerja di rumah sakit yang menangani pasien virus corona atau COVID-19 di Teheran, Iran, Minggu (1/3/2020). Iran tercatat memiliki korban meninggal tertinggi setelah China, yang menjadi pusat wabah. (Koosha Mahshid Falahi/Mizan News Agency via AP)

Demi meningkatkan antisipasi terhadap COVID-19, upaya pemasangan thermal scan termasuk upaya yang bagus. Deteksi suhu tubuh, apakah demam atau tidak, yang merupakan salah satu gejala COVID-19.

"Pertama, thermal scan sebelum dan setelah turun dari pesawat. Pemeriksaan thermal scan dengan mendeteksi demam. Gejala utamanya demam. 95 persen demam sehingga demam dapat dijadikan indikator awal pemeriksaan," Syahrizal menegaskan.

"Kedua, Health Alert Card (HAC), yakni Kartu Kewaspadaan Kesehatan ini langkah awal pemeriksaan terkait gejala COVID-19. Saya pikir, kartu ini bisa memisahkan siapa saja penumpang dari wilayah yang memang hotspot sekali dan tidak."

Bagi penumpang yang berasal dari daerah kasus tinggi COVID-19, akan ada pemantauan aktif. 

"Saat ini, dunia maju dengan alat komunikasi. Tinggal meminta nomor telepon untuk menghubungi secara aktif orang bersangkutan (gejala COVID-19). Dengan begitu, kita mengetahui perkembangan kondisi orang tersebut selama 14 hari, kalau mereka berada di Indonesia," lanjut Syahrizal.

"Intinya, bagaimana kita harus menemukan kasus baru sangat dini sekali."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya