Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan farmasi AstraZeneca menyatakan bahwa vaksin COVID-19 yang mereka kembangkan tidak bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya.
Hal ini disampaikan oleh pihak AstraZeneca, usai dikeluarkannya pernyataan yang disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait kehalalan vaksin COVID-19 AstraZeneca beberapa waktu lalu.
Baca Juga
Walaupun begitu, dalam siaran pers yang diterima Health Liputan6.com, ditulis Senin (22/3/2021), perusahaan tersebut menegaskan bahwa mereka menghargai pernyataan yang disampaikan oleh MUI.
Advertisement
AstraZeneca mengatakan bahwa vaksin COVID-19 mereka merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk dari hewan, serta telah dikonfirmasi oleh Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris.
"Semua tahapan proses produksinya, vaksin vektor virus ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya," tulis mereka.
Selain itu, AstraZeneca juga menyebut bahwa vaksin mereka telah disetujui di lebih dari 70 negara di seluruh dunia, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko.
"Dan banyak Dewan Islam di seluruh dunia telah telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan oleh para Muslim," kata mereka.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Pernyataan MUI soal Vaksin AstraZeneca
Sebelumnya, MUI menyatakan bahwa vaksin COVID-19 AstraZeneca mengandung enzim babi. Meskipun begitu, mereka menyebut bahwa penggunaan vaksin yang diproduksi di Korea Selatan itu untuk saat ini diperbolehkan.
"Vaksin produk AstraZeneca ini hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi," kata Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorum Ni'am Sholeh, dalam konferensi pers Jumat lalu.
MUI mengatakan bahwa ada lima alasan mereka membolehkan penggunaan vaksin tersebut. Pertama, Indonesia saat ini masih menghadapi pandemi COVID-19.
"Ada kondisi kebutuhan mendesak atau hajah basyariyah dalam konteks fikih yang menduduki kedudukan syar'i atau darurat syar'iyah," jelasnya. Kedua, ada keterangan dari ahli bahwa terdapat bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi.
Ketiga, ketersediaan vaksin COVID-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi guna mewujudkan kekebalan kelompok atau herd immunity. Keempat, ada jaminan keamanan penggunaan vaksin AstraZeneca oleh pemerintah.
"Kelima pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin COVID-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia maupun tingkat global."
Advertisement