Kenali, Faktor-Faktor Penyebab Bullying Bisa Terus Terjadi di Sebuah Lingkungan

Setiap perbuatan pasti ada yang melatarbelakangi. Begitu pula kasus perundungan atau bullying pada seseorang.

oleh Mina Megawati diperbarui 18 Sep 2021, 06:00 WIB
Diterbitkan 18 Sep 2021, 06:00 WIB
Bullying di KPI
Stop bullying di kantor dan sekolah serta lingkungan sosial mana pun.

Liputan6.com, Jakarta Perundungan atau bullying dapat menimpa siapa saja. Mirisnya, bullying justru dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita. Mereka yang kita anggap mampu melindungi justru merundungi tanpa pernah mau memikirkan dampak mental di kemudian hari.

Psikolog asal Surabaya Iffah Rosyiana mengisahkan kepada Health Liputan6.com, Kamis (02/11/21) tentang salah satu klien yang sedang dalam proses pendampingan. Dia adalah seorang remaja perempuan korban bullying oleh ayahnya.  

Korban diperlakukan tidak baik oleh keluarga terdekatnya sendiri. Tempat yang harusnya memberi perlindungan justru memberi perundungan.

Pola asuh yang diperoleh korban dari rumah dapat berkembang menjadi satu kebiasaan. Kelak ini akan berkembang menjadi satu budaya yang akan mempengaruhi dan cenderung meracuni cara berperilaku di masyarakat.

“Ada kemungkinan pelaku bullying pun pernah menjadi korban pelecehan seksual. Jadi, sebetulnya pelaku dan korban keduanya sama-sama korban dari lingkungan toxic mereka masing-masing,” tegasnya.

Setiap perbuatan pasti ada yang melatarbelakangi. Begitu pula kasus perundungan yang menimpa pegawai KPI yang tengah menjadi perbincangan publik sejak beberapa waktu lalu. 

Latar Belakang dari Sisi Psikologis Korban dan Pelaku Bullying

Iffah Rosyiana menjabarkan latar belakang psikologis dari sisi korban dan pelaku bullying:

Sisi Psikologis Korban Bullying :

1. Perasaan malu karena obyek yang di-bully terkait dengan fisik termasuk area seksual korban.

Korban memilih bungkam karena malu kondisi yang menimpanya diketahui publik.

2. Pertimbangan kondisi ekonomi dan tanggung jawab pada keluarga yang membuat korban tidak bertindak.

Hal ini membuat korban memilih "rasa aman" dengan cara diam sementara waktu dan menunggu saat yang tepat baginya untuk bertindak.

3. Pertimbangan sosial demi menjaga perasaan keluarga.

Korban tak mau orang-orang terdekatnya turut merasakan malu. Namun, tanpa disadari kondisi ini menimbulkan tekanan psikologis yang lebih luas pada mental korban.

4. Panjangnya proses pelaporan korban bullying mendatangkan tekanan pada psikis korban dan keluarga. Terlebih jika pelaku tidak dapat segera diberikan hukuman.

 

Sisi Psikologis Pelaku Bullying :

1. Lingkungan pelaku mendukung untuk melakukan bullying pada seseorang yang baru bergabung dengan tujuan memberikan tekanan psikologis agar lebih patuh pada pelaku.

2. Budaya atau iklim tempat kerja yang sudah terbentuk bahwa mem-bully karyawan baru merupakan salah satu hal yang 'diperbolehkan'.

3. Sistem dan kebijakan peraturan kerja yang kurang memberikan perlindungan terhadap kenyamanan kerja karyawan masih rendah sehingga terbangun siapa yang kuat dia yang menang.

4. Bullying adalah perilaku toxic yang dapat menular dengan cepat disekitarnya.

Terlebih korban tidak dapat membalas dan melindungi dirinya atau ketika tidak ada seseorang yang dapat melindungi dari serangan para perundung. Ini menunjukkan bahwa perilaku bullying bisa menjadi budaya dan hal yang wajar di lingkungan kerja tersebut.

5. Pelaku perundungan tidak memahami atau bisa jadi tidak mau tahu dampak psikologis yang diderita oleh korban.

"Bisa jadi awalnya hanya satu atau dua orang yang membully dan ketika korban tidak melawan maka pelaku akan mengajak teman kerja lainnya untuk merundung korban bersama-sama," kata Iffah.

Kondisi diperburuk bila pada organisasi tersebut tidak ada peraturan yang mengatur tata sikap perilaku kerja benar dan salah seperti apa dan pengaduan ke siapa bila terjadi bully maupun perilaku toxic lainnya.

Apa yang Terjadi Saat Anak-Anak Pengaruhi Perilakunya Kelak

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI melansir dari data WHO menunjukkan bahwa 1 dari 4 orang dewasa melaporkan pernah mengalami kekerasan saat usia anak atau remaja.

Menurut data itu, 1 dari 5 Perempuan dan 1 dari 13 Laki-laki melaporkan pernah mengalami kekerasan seksual saat usia anak atau remaja. 12 persen anak-anak d dunia mengalami kekerasan seksual pada satu tahun terakhir. 37 persen dari negara anggota WHO menerapkan intervensi pencegahan kejadian kekerasan seksual pada skala yang lebih besar.

Ini menunjukkan, bahwa apa yang terjadi pada anak-anak sangat berdampak dengan perilakunya kelak di masyarakat termasuk di lingkungan profesional tempatnya bekerja. Untuk itulah diperlukan edukasi mulai dari internal keluarga hingga lingkungan kerja.

"Penerapan peraturan yang tegas, kebijakan hukum yang sigap, tidak hanya sebatas regulasi di atas kertas, namun sesuatu yang terbukti bisa melindungi siapa pun dengan menjunjung kesetaraan hak," tegas Iffah.

 

Infografis Kasus Bullying

Perkembangan Bullying di Indonesia
Infografis Kasus Bullying (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya