Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah orang saat gugup biasanya merasakan sakit perut. Begitu pula dengan orang yang depresi dan sebuah penelitian menemukan ada hubungan antara mikroba usus dengan depresi.
Para ahli mengatakan, dengan memahami adanya koneksi antara usus dan otak bisa membantu membangun sistem, komunitas, dan gaya hidup yang lebih sehat.
Baca Juga
Seperti dilansir Very Well Health, karena ini merupakan bidang yang relatif baru, ada beberapa pertanyaan besar dalam penelitian usus-otak. Apa sebenarnya sumbu usus-otak? Bagaimana kedua sistem terhubung? Bisakah mikroba di usus benar-benar mempengaruhi pikiran ?
Advertisement
“Ada beberapa cara di mana mikroorganisme [usus] dapat mempengaruhi otak,” kata Karina Alviña, PhD, asisten peneliti profesor ilmu saraf di University of Florida yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Para ilmuwan biasanya menghubungkan depresi dengan masalah neurotransmiter tertentu di otak (seperti serotonin), hormon stres, atau tidur. Guillaume Méric, PhD, seorang ahli mikrobiologi dan bioinformatika di Baker Heart & Diabetes Institute di Melbourne, Australia, dan salah satu penulis studi tersebut, mengatakan bahwa kita perlu mengubah cara berpikir tentang kondisi kesehatan mental.
Menurut Méric, kondisi yang kita kaitkan dengan pikiran, seperti depresi, perlu dianggap lebih erat terhubung dan dipengaruhi sistem organ lain. Penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan kondisi kesehatan mental yang parah seringkali memiliki mikroba yang sangat berbeda di dalam ususnya daripada orang yang tidak memiliki kondisi tersebut.
3 Pengaruh Mikroorganisme terhadap Otak
Menurut Méric, temuan ini menunjukkan bahwa usus dan otak kita terhubung erat. Itu berarti pola makan dan sistem kekebalan mempengaruhi suasana hati kita dan proses otak lainnya.
Sumbu usus-otak lebih merupakan lingkaran daripada hubungan satu sisi. Setiap ujung menginformasikan yang lain menggunakan tiga jalur utama.
Méric mengatakan bahwa usus sebenarnya memiliki sistem sarafnya sendiri. Ini disebut sistem saraf enterik (ENS). Jika harus, ENS dapat berfungsi secara independen dari sistem saraf pusat (SSP), yang mencakup otak. Itulah mengapa ENS terkadang disebut sebagai “otak kedua”.
Mikroorganisme usus itu dapat mempengaruhi otak setidaknya dalam tiga cara:
1. Aliran darah: bakteri usus memproduksi dan melepaskan metabolit tertentu yang memasuki sirkulasi darah dan berinteraksi dengan sistem kekebalan tubuh kita.
2. Sistem saraf enterik: metabolit tertentu mempengaruhi sel-sel otak (neuron) yang mengontrol fungsi usus (ENS).
3. Saraf vagus: beberapa mikroba usus "berbicara" dengan otak melalui saraf vagus, yang menghubungkan organ sistem saraf perifer (seperti usus) dengan SSP.
Usus dan otak menggunakan jalur ini untuk tetap berkomunikasi secara konstan.
Advertisement
Usus Sehat = Psikologis yang Baik
Bakteri usus dapat mengubah neurotransmiter mana yang ada dalam aliran darah, dan molekul inflamasi yang diproduksi di usus juga dapat berperan.
ENS—atau “otak kedua”—membuat neurotransmiter yang diketahui berperan dalam depresi, seperti serotonin.
Apa yang terjadi di usus juga dapat merangsang saraf vagus, yang mengirimkan pesan ke otak.
Méric bilang, sebagian besar neurotransmiter yang akhirnya bekerja di otak dibuat di usus. Misalnya, ENS dapat memproduksi dan menyimpan sekitar 90% dari total serotonin dan 50% dari total dopamin
Dan neurotransmiter ini, kata Méric, terkenal terlibat dalam modulasi kompleks suasana hati, penghargaan, kognisi, dan proses fisiologis dan psikologis lainnya.
Dengan demikian secara umum Méric mengatakan bahwa memiliki usus yang sehat sangat terkait dengan hasil psikologis yang lebih baik.