WHO Bakal Transfer Teknologi Vaksin mRNA ke 15 Negara, Termasuk Indonesia

Transfer teknologi vaksin mRNA WHO sudah dilakukan ke 15 negara, termasuk Indonesia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 25 Agu 2022, 14:00 WIB
Diterbitkan 25 Agu 2022, 14:00 WIB
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus
Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus saat menghadiri pembukaan '1st G20 Ministerial Meeting and 1st Joint Financial Meeting' di Yogyakarta pada 20 Juni 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Bali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tengah fokus memperluas transfer teknologi vaksin mRNA ke 15 negara. Negara penerima perluasan transfer teknologi vaksin ‘canggih’ untuk menanggulangi penyakit ini juga termasuk Indonesia, yang mana dipegang oleh PT Bio Farma Tbk.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, upaya perluasan teknologi vaksin mRNA ditandai awal dengan didirikannya pusat (hub) di Afrika Selatan. Selanjutnya, transfer teknologi vaksin mRNA tersebut mulai diperluas ke negara-negara lain. 

“WHO dan mitra telah mendirikan MRNA technology transfer Hub (hub transfer teknologi mRNA) di Afrika Selatan, yang sudah mulai mentransfer teknologi ke 15 negara penerima,” kata Tedros dalam sambutan pertemuan The 3rd G20 Health Working Group di Hilton Resort, Nusa Dua Bali secara virtual, ditulis Kamis (25/8/2022).

“Kemudian membangun inisiatif pelatihan tenaga kerja biomanufaktur di Republik Korea (Korea Selatan). Sementara ini, fokus awal adalah teknologi mRNA, nanti dapat diperluas ke teknologi lainnya di masa depan.”

WHO juga bekerja sama dengan Regulatory Agencies – lembaga/otoritas yang berwenang pada masing-masing negara – untuk memperkuat kapasitas dalam memutuskan dan memberikan kualifikasi serta kelayakan terhadap vaksin dan produk biologis lainnya demi memenuhi kebutuhan regional dan global. 

Komitmen WHO untuk memperluas transfer teknologi mRNA juga sejalan dengan fokus agenda Presidensi G20 Indonesia dalam ‘3rd Health Working Group’ dengan hasil (deliverable/output) memperluas dan mengembangkan kapasitas pusat riset dan manufaktur global secara merata di seluruh negara.

Tujuannya, agar setiap negara dapat siap bila pandemi sewaktu-waktu terjadi di masa depan. Diharapkan negara anggota G20 ikut menyepakati perluasan kapasitas pusat riset dan manufaktur tersebut.

“Saya berterima kasih kepada Indonesia atas kepemimpinannya selama Presidensi G20 dan semua negara anggota G20 atas dukungannya yang murah hati. Hanya dengan bekerja sama dalam solidaritas, kita dapat mengendalikan pandemi dan mendorong pemulihan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan,” ucap Tedros.

Siap Hadapi Kedaruratan Kesehatan

Delegasi Negara Anggota G20
Delegasi dari negara anggota G20 yang menghadiri '3rd Health Working Group G20' di Hilton Resort, Nusa Dua, Bali pada Selasa, 23 Agustus 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Tedros mengingatkan kembali, bahwa diperlukan kesiapan dalam menghadapi situasi darurat kesehatan. Belajar dari pandemi COVID-19, akses vaksin dan manufaktur termasuk terapeutik dan alat diagnostik sangat penting untuk penanganan respons situasi darurat.

Pada awal pandemi COVID-19, banyak negara terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah sulit mendapatkan akses obat-obatan dan alat kesehatan lain. Mereka ‘berlomba-lomba’ dengan negara berpenghasilan menengah ke atas untuk mengimpor kebutuhan pengobatan dan perawatan.

Selain itu, kedaruratan situasi COVID-19 juga membuat negara, terlebih negara pemasok vaksin dan obat-obatan di dunia melakukan lockdown. Akibatnya, negara lain tidak bisa mendatangkan pasokan vaksin dan obat-obatan untuk penduduknya sendiri. 

“Pandemi COVID-19 membangun kembali pertahanan dunia terhadap keadaan darurat kesehatan. Situasi pandemi ikut memperburuk ketidakadilan yang mendalam di dalam dan di antara negara-negara lain, mengikis kepercayaan pada pemerintah dan lembaga (untuk merespons pandemi),” jelas Tedros.

“Negara juga tidak siap dalam situasi keadaan darurat kesehatan skala besar, kurangnya kesetaraan, dan kurangnya berbagi – vaksin, terapeutik, alat diagnostik – sangat menghambat respons global.”

Oleh karena itu, WHO dan mitra bekerja bekerja sama memperluas kapasitas negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk memproduksi vaksin, alat terapi, dan diagnostik untuk COVID-19 dan penyakit lain yang berpotensi epidemi dan pandemi. Upaya inilah yang menjadi latar belakang didirikannya hub vaksin mRNA dan transfer teknologi mRNA ke 15 negara.

15 Negara Penerima Teknologi mRNA

FOTO: Palestina Vaksinasi COVID-19 Siswa Berusia 12 Tahun ke Atas
Pegawai Kementerian Kesehatan Palestina menunjukkan botol vaksin COVID-19 Pfizer/BioNTech saat vaksinasi siswa sekolah berusia 12 tahun ke atas di Desa Dura, Hebron, Palestina, 24 November 2021. Total kasus COVID-19 di Palestina mencapai 428.857, meninggal 4.520, sembuh 421.669. (HAZEM BADER/AFP)

Sebagaimana data WHO hingga per 25 Agustus 2022, ada 15 negara penerima teknologi mRNA dari pusat transfer teknologi mRNA yang dibesut WHO. 

Kelima belas negara penerima teknologi mRNA beserta perusahaan/industri farmasi yang bertanggung jawab melakukan menerima teknologi tersebut, antara lain:

  1. Argentina: Sinergium Biotech
  2. Brasil: Bio-ManguinhosMesir: BioGeneric Pharma S.A.E
  3. Kenya: tbd* –  badan hukum yang bekerja sama dengan Aga Khan Development Network (AKDN)
  4. Nigeria: Biovaccines
  5. Nigeria Limited
  6. Senegal: Institut Pasteur de Dakar 
  7. Tunisia: Institut Pasteur de Tunis
  8. Bangladesh: Incepta Vaccine Ltd
  9. Indonesia: Bio Farma 
  10. India: BiologicalE (Bio E)
  11. Pakistan: National Institute of Health 
  12. Serbia: Institut Torlak 
  13. Afrika Selatan: Biovac 
  14. Ukraina: Darnitsa
  15. Vietnam: Polyvac

“Komitmen kami mendukung peningkatan produksi lokal, seperti yang kami lakukan dengan mendirikan mRNA Technology Transfer Hub di Afrika Selatan, yang sekarang memiliki 15 negara penerima di seluruh dunia dan sedang membuat kemajuan. Kami tetap berkomitmen penuh untuk membangun WHO yang lebih akuntabel,” ucap Tedros Adhanom Ghebreyesus saat membuka pertemuan 72nd session of the Regional Committee for Africa pada 22 Agustus 2022.

Asal Mula Hub Transfer Teknologi mRNA WHO

Israel mulai vaksinasi anak usia 5-11 tahun
Seorang pekerja kesehatan Israel menunjukkan botol vaksin Covid-19 Pfizer/BioNTech Covid-19 untuk anak-anak di Meuhedet Healthcare Services Organization di Tel Aviv, saat Israel memulai kampanye vaksinasi virus corona untuk anak berusia 5 hingga 11 tahun, Senin (22/11/2021). (JACK GUEZ / AFP)

Transfer teknologi dalam penelitian dan pengembangan biomedis adalah transfer teknologi medis dari originator ke pengguna sekunder, yang memungkinkan pengguna untuk memproduksi teknologi baru dan menjualnya di pasaran. Ini juga dapat mencakup transfer pengetahuan, praktik manufaktur, dan kekayaan intelektual.

Biasanya transfer teknologi bersifat bilateral – dari pencetus teknologi ke penerima. Sebaliknya, hub transfer teknologi bersifat multilateral. Ini menyatukan semua elemen yang diperlukan untuk membangun teknologi (know-how, data, formula, kekayaan intelektual dan dalam banyak kasus pelatihan). Kemudian mentransfer proses manufaktur yang sepenuhnya divalidasi ke beberapa pengguna sekunder (penerima).

Hub transfer teknologi multilateral diperlukan saat ada permintaan dari banyak penerima untuk menerima teknologi dan ketika ada minat terbatas dalam perjanjian bilateral, sebagaimana informasi dari FAQ WHO - The mRNA vaccine technology transfer hub.

Alasan WHO mendirikan hub transfer teknologi mRNA bermula pada awal 2021 terjadi kendala produksi dan pasokan, penimbunan vaksin COVID-19 oleh negara-negara kaya dan perusahaan yang memprioritaskan penjualan kepada pemerintah untuk dapat membayar harga tertinggi.

Fenomena ini memperjelas bahwa negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah akan didorong mengantre untuk mendapatkan vaksin COVID-19. Sementara WHO terus mengadvokasi pembagian vaksin yang adil melalui COVAX Facility dan berbagi teknologi melalui perjanjian bilateral dan multilateral (yaitu melalui COVID-19 Technology Access Pool).

Inisiatif untuk mendirikan hub transfer teknologi mRNA muncul sebagai strategi yang valid. untuk meningkatkan kapasitas produksi vaksin mRNA di negara yang kurang terlayani. Dengan demikian, dapat meningkatkan keamanan kesehatan di negara yang bersangkutan.

Tujuannya juga untuk mendukung produsen di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk memproduksi vaksin mereka sendiri. Lalu, memastikan mereka memiliki semua prosedur yang diperlukan dan pengetahuan untuk memproduksi vaksin mRNA dalam skala besar dan sesuai dengan Good Manufacturing Practices WHO.

Infografis Tak Usah Pilih-Pilih, Ayo Cepat Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Tak Usah Pilih-Pilih, Ayo Cepat Vaksin Covid-19. (Liputan6.com/Niman)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya