Produksi Kopi Luwak Tak Perlu Tergantung dari Musang Liar

Sekarang ini memproduksi kopi luwak tak perlu tergantung dengan musang liar. Luwak ternak juga bisa dimanfaatkan

oleh Gabriel Abdi Susanto diperbarui 25 Jun 2013, 10:45 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2013, 10:45 WIB
kopi-luwak-130624-c.jpg
Tiga ekor musang (luwak) yang berada dalam kandang peliharaan terlihat gusar, terus bergerak-gerak ke sana kemari, di antaranya berusaha merangsek maju menunjukkan ketidaksukaan hewan liar itu ketika coba didekati.

Tak seperti umumnya musang liar yang harus mencari makanan sesukanya di alam, musang bulan yang dipelihara dan sengaja dikandangkan itu, mendapatkan makanan berupa buah kopi robusta yang sudah matang berwarna merah.
    
"Selain makan buah kopi yang disediakan, juga diberi pisang dan buah-buahan serta makanan musang umumnya," kata Yayah Suryani (51), Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Pekon (Kampung) Tribudisyukur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung seperti dikutip dari Antara, Senin (24/6/2013).
    
Di alam, musang liar memang menyukai memakan buah kopi yang sudah benar-benar masak, kemudian kotorannya itulah yang dipungut dan diproses lebih lanjut menjadi bahan baku kopi luwak yang diburu kenikmatannya oleh para pencinta minuman penyegar semangat dan penghilang kantuk ini.
    
Yayah menyatakan bahwa beberapa ekor musang yang dipelihara itu sudah jinak walaupun tetap harus dikandangkan, mengingat beberapa waktu lalu ada musang peliharaan itu ternyata tidak kembali lagi ke kandang setelah dilepaskan.

Beberapa ekor musang lainnya mati di dalam kandangnya, diduga mengalami stres karena terbiasa hidup liar di alam tetapi harus dikandangkan dalam tempat yang relatif sempit seperti itu.

Dia mengaku relatif sulit memelihara musang tersebut, mengingat umumnya tingkat stres binatang ini cukup tinggi.

Ia menuturkan, pernah saat anak-anak di sana bermain "jeduman" (mainan penghasil bunyi serupa mercon besar terbuat dari bambu) tak jauh dari kandang musang itu, beberapa ekor hewan peliharaan itu menjadi terkaget-kaget dan terlihat gemetaran.

Ternyata beberapa hari kemudian, ada musang peliharaan itu yang mati.

Menurut Regional Fasilitator Proyek Penguatan Pengelolaan Hutan dan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat (Strengthening Community-Based Forest and Watershed Management/SCBFWM) Lampung BP-DAS Way Seputih Way Sekampung, Dr. Zainal Abidin, M.S., beberapa tahun lalu KWT Melati itu mendapatkan bantuan hibah sebanyak 10 ekor musang untuk dipelihara sebagai pendukung produksi kopi luwak.

Tinggal tiga ekor
Namun saat ini, musang yang masih hidup dan dapat terus dipelihara hanya tinggal tiga ekor saja. Selebihnya, ada musang yang lari ke alam lagi atau mati karena sakit atau mengalami stres.

"Memang sulit memelihara musang dalam kandang," ujar Zainal yang juga dosen Fakultas Pertanian Universitas Lampung itu.

KWT Melati saat ini dapat memproduksi sedikitnya 2 kg kopi luwak per minggu sudah dalam kemasan plastik berlabel, selain memproduksi kopi bubuk biasa sebanyak 70 kg per minggu dalam bentuk kemasan.
    
Kelompok ini didirikan pada tanggal 8 Oktober 1993 bermula dari kegiatan arisan kerja berupa penyiangan, panen buah kopi, tanaman padi atau hampir semua kegiatan pertanian.

Belakangan kelompok ini semakin berkembang keanggotaannya menjadi 63 orang dan usaha serta kegiatan yang dijalankan juga semakin banyak, termasuk mengelola usaha produktif kopi bubuk biasa, kopi luwak, gula aren, gula aren kristal, keripik pisang, keripik singkong, dan madu alam.
    
Kelompok ini juga mengembangkan usaha jasa penggilingan kopi, arisan kerja, warung, dan pembibitan dengan omzet usaha mencapai ratusan juta per tahun atau Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan.
    
Selain kesulitan memelihara musang untuk mendukung produksi kopi luwak, tidak bisa mengandalkan bahan baku kopi luwak dari alam, produk kopi luwak yang dihasilkan KWT Melati masih memerlukan dukungan pemasaran agar dapat menembus pembeli tetap di luar daerah.
    
Menurut Ketua KWT Melati, Yayah Suryani didampingi Bendaharanya, Suminarsih, mereka telah mampu menghasilkan rata-rata 2 kg kopi luwak per minggu, dalam bentuk kemasan berlabel berisi 250 gram.
    
Kopi spesial yang berasal dari buah kopi matang yang diumpankan kepada musang peliharaan untuk dikonsumsi, dan diambil kembali berupa kotoran musang untuk diproses lebih lanjut itu dijual Rp50.000 per kemasannya.
    
"Banyak yang datang atau menelepon berminat untuk memesan dan membelinya, tetapi umumnya masih dalam partai kecil," kata Yayah pula.
    
Pembeli utama kopi itu umumnya dari luar daerah, sedangkan pembeli lokal umumnya masih mengeluhkan harganya yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga kopi bubuk biasa berkisar Rp30.000 per kg (harga di Bandarlampung berkisar Rp40.000 per kg).
    
Padahal pasar kopi luwak sebenarnya masih cukup menjanjikan, apalagi dengan sertifikat jaminan keaslian bahan bakunya (bukan kopi luwak aspal), dengan potensi pembeli di dalam maupun luar negeri yang besar.
    
Kelompok ini berencana mengembangkan promosi produk kopi luwak itu pada setiap "event" pameran lokal setempat maupun Provinsi Lampung sebagai upaya peningkatan pemasaran produknya.
    
"Kami juga menjajaki kerja sama untuk menjalin kemitraan dengan calon pembeli besar agar dapat rutin mengirimkan pasokan barang yang diperlukan," kata Yayah lagi.
    
Selain masih menghadapi masalah dalam pemasaran keluar daerah, produksi kopi luwak itu juga terbentur bahan baku yang terbatas mengingat hanya tinggal tiga ekor luwak (musang) masih dapat dipelihara saat ini.
    
Semula kelompok ini mendapatkan bantuan hibah kecil dari Proyek SCBFWM di Lampung, antara lain, membantu peralatan pengering kopi (oven) manual dan sepuluh ekor musang pada tahun 2010 dan 2011.
    
"Sekarang luwak yang masih ada tinggal tiga ekor, ada yang lepas ke hutan dan mati," ujar Yayah lagi.
    
Harga musang untuk menghasilkan bahan baku kopi luwak itu berkisar Rp 500.000 hingga Rp 600.000 per ekor.
    
Menurut Yayah, luwak itu harus mendapatkan perawatan yang baik, termasuk memberikan makanan tambahan selain buah kopi yang sudah matang untuk menjadi bahan baku kopi luwak.
    
"Buah yang matang sudah dipilih-pilih pun masih dipilih lagi oleh luwak itu sehingga tidak semuanya dimakannya," ujar dia lagi.
    
Produksi sulit bikin harga mahal
Produksi kopi luwak yang relatif sulit tersebut sehingga membuat harga kopi luwak yang dihasilkan menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi bubuk biasa.
    
Kelompok juga mengembangkan usaha pembuatan gula aren dan gula kristal aren, kopi bubuk biasa dalam kemasan yang mendapatkan bantuan peralatan pengemas otomatis dari Pemerintah Kabupaten Lampung Barat dan sejumlah produk ekonomis lainnya.
     
Saat ini, kelompok yang telah memiliki aset mencapai ratusan juta rupiah itu, dan setiap bulan mempunyai omzet penjualan mencapai rata-rata Rp12 juta.
    
Selain memproduksi berbagai macam barang konsumsi itu, KWT Melati ini juga aktif dalam kegiatan konservasi yang dijalankan oleh kelompok hutan kemasyarakatan (HKm) Bina Wana berupa penanaman tanaman multipurpose trees species (MPTS) dan pembuatan kebun bibit serta kegiatan kelompok lainnya.
    
Khusus produksi kopi luwak, kelompok ini khawatir musang yang dikandangkan menghadapi masalah sehingga produksi bahan bakunya menjadi berkurang.
   
Padahal untuk mendapatkan musang yang baru dan memeliharanya bukan hal yang murah dan mudah.
    
"Akan tetapi, kami akan berusaha terus dapat memelihara musang di kandang yang tersedia sehingga produksi kopi luwak dapat terjamin kualitasnya dan semakin meningkat jumlahnya dengan pemasaran yang lebih baik," kata Yayah Suryani.
    
Dia pun menunjukkan produksi kopi luwak itu, beserta sejumlah produk yang dihasilkan kelompok ini beserta berbagai piagam penghargaan dan kepesertaan dalam berbagai kegiatan lokal daerah maupun nasional yang telah diikuti selama ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya