Meski produk susu formula asal New Zealand yang dikabarkan tercemar bakteri Clostridium tidak masuk ke Indonesia, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan Prof dr Tjandra Yoga Aditama menyampaikan bahwa makanan yang terkontaminasi bakteri Clostridium botulinum dapat menimbulkan masalah kesehatan yang disebut botulisme.
"Pada kasus keracunan pangan, botulisme terjadi akibat intoksikasi neurotoksin (keracunan pada saraf) yang diproduksi bakteri Clostridium botulinum," jelas Tjandra lewat surat elektroniknya ke redaksi Liputan6.com, Kamis (8/8/2013).
Secara umum, menurut Tjandra, manifestasi gejala yang timbul pada botulisme akibat keracunan pangan adalah kram perut, pandangan buram, kesulitan bernapas, dan kelemahan otot. Biasanya didahului dengan kelemahan otot yang dipersarafi saraf kranial yang berfungsi mengatur gerakan mata, wajah, mengunyah, dan menelan.
Pada kasus yang berat dapat terjadi gagal napas. Gejala timbul dalam 12-36 jam setelah mengonsumsi pangan tercemar, namun dapat juga timbul dalam 1-10 hari.
"Sebagai bentuk antisipasi dan kewaspadaan serta informasi bagi Dinas Kesehatan di daerah, meski produk ini belum secara resmi masuk ke Indonesia, saya membuat surat edaran ke Dinas Kesehatan," ujar Tjandra.
Surat edaran itu menyebutkan antara lain tentang produk yang diberitakan tercemar ini tidak diekspor ke Indonesia, tetap waspada dengan mengenal tanda dan gejala botulismus dan penyuluhan serta penanggulangannya, berkoordinasi dengan Balai POM setempat bila diperlukan, dan melaporkan kejadian keracunan pangan, khususnya kejadian yang berhubungan dengan produk ini ke Posko KLB (kini Posko ini 24 jam) di Kementerian Kesehatan, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan telpon 021-4257125, 42877588, faksimili 021-42802669, atau email poskoklb@yahoo.com.
"Sekali lagi, sejauh ini produk tercemar ini memang tidak didistribusikan di Indonesia. Kami memang menunjukkan kewaspadaan dan kesiagaan saja dan terus memantau keadaan," tegas Tjandra.
(Abd)
"Pada kasus keracunan pangan, botulisme terjadi akibat intoksikasi neurotoksin (keracunan pada saraf) yang diproduksi bakteri Clostridium botulinum," jelas Tjandra lewat surat elektroniknya ke redaksi Liputan6.com, Kamis (8/8/2013).
Secara umum, menurut Tjandra, manifestasi gejala yang timbul pada botulisme akibat keracunan pangan adalah kram perut, pandangan buram, kesulitan bernapas, dan kelemahan otot. Biasanya didahului dengan kelemahan otot yang dipersarafi saraf kranial yang berfungsi mengatur gerakan mata, wajah, mengunyah, dan menelan.
Pada kasus yang berat dapat terjadi gagal napas. Gejala timbul dalam 12-36 jam setelah mengonsumsi pangan tercemar, namun dapat juga timbul dalam 1-10 hari.
"Sebagai bentuk antisipasi dan kewaspadaan serta informasi bagi Dinas Kesehatan di daerah, meski produk ini belum secara resmi masuk ke Indonesia, saya membuat surat edaran ke Dinas Kesehatan," ujar Tjandra.
Surat edaran itu menyebutkan antara lain tentang produk yang diberitakan tercemar ini tidak diekspor ke Indonesia, tetap waspada dengan mengenal tanda dan gejala botulismus dan penyuluhan serta penanggulangannya, berkoordinasi dengan Balai POM setempat bila diperlukan, dan melaporkan kejadian keracunan pangan, khususnya kejadian yang berhubungan dengan produk ini ke Posko KLB (kini Posko ini 24 jam) di Kementerian Kesehatan, Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan telpon 021-4257125, 42877588, faksimili 021-42802669, atau email poskoklb@yahoo.com.
"Sekali lagi, sejauh ini produk tercemar ini memang tidak didistribusikan di Indonesia. Kami memang menunjukkan kewaspadaan dan kesiagaan saja dan terus memantau keadaan," tegas Tjandra.
(Abd)