Studi terbaru yang ditayangkan dalam jurnal Neuroscience Socioaffective and Psikology dilakukan para ilmuwan University of California, Los Angeles Amerika Serikat menunjukkan, seseorang yang mengaku dirinya pecandu seks, kemungkinan sebenarnya hanya memiliki dorongan seks yang tinggi.
"Ini adalah pertama kalinya para ilmuwan mempelajari respons dari otak khusus orang-orang yang mengidentifikasi diri memiliki masalah hiperseksual," kata penulis senior studi Nicole Prause, seorang peneliti di departemen psikiatri di UCLA, seperti dikutip Health24, Selasa (3/9/2013)
Kecanduan seks biasanya didiagnosis terjadi pada seseorang yang memiliki dorongan seksual tinggi dan merasa lepas kendali, sering beraktivitas secara seksual, dan menderita batin yang mengakibatkan perceraian atau kehancuran ekonomi karena perilakunya itu.
Namun, ada atau tidaknya seseorang kecanduan seksual masih kontroversial.
Dalam studi baru, tim Prause yang menganalisis tanggapan otak pada 39 pria dan 13 wanita, berusia 18 sampai 39 tahun, yang diberi tugas untuk mengisi kuesioner tentang perilaku seksual dan kebiasaan yang mirip dengan orang yang biasanya mencari pengobatan untuk kecanduan seks, juga disebut mengalami hiperseks.
"Para relawan diperlihatkan sebuah set foto yang dipilih dengan cermat untuk membangkitkan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan," jelas Prause.
"Gambar-gambar termasuk gambar tubuh dipotong-potong. Dan tentu saja, beberapa gambar seksual, gambar romantis, sementara yang lain menunjukkan hubungan eksplisit antara seorang pria dan seorang wanita." tambah Prause.
Pemikiran di balik penelitian ini adalah, jika seseorang itu benar-benar kecanduan seks, gambar aktivitas seksual akan menghasilkan lonjakan aktivitas otak, dengan cara yang sama bahwa gambar kokain telah ditunjukkan untuk mengubah aktivitas otak orang kecanduan obat .
"Namun, respons otak ke gambar seksual tidak diprediksi oleh salah satu dari tiga angket tentang hypersexuality," menurut Prause.
Respons otak hanya berkaitan dengan ukuran hasrat seksual. Dengan kata lain, hiperseksualitas tidak ditandai hanya dengan menjelaskan respons otak yang peka terhadap gambar berbau seksual dan lebih dari sekadar memiliki libido tinggi.
"Ini adalah temuan penting," kata Prause. "Jika penelitian kami dapat direplikasi, temuan ini merupakan tantangan serius terhadap teori tentang adanya kecanduan seksual," tutup Prause.
(Adt/Abd)
"Ini adalah pertama kalinya para ilmuwan mempelajari respons dari otak khusus orang-orang yang mengidentifikasi diri memiliki masalah hiperseksual," kata penulis senior studi Nicole Prause, seorang peneliti di departemen psikiatri di UCLA, seperti dikutip Health24, Selasa (3/9/2013)
Kecanduan seks biasanya didiagnosis terjadi pada seseorang yang memiliki dorongan seksual tinggi dan merasa lepas kendali, sering beraktivitas secara seksual, dan menderita batin yang mengakibatkan perceraian atau kehancuran ekonomi karena perilakunya itu.
Namun, ada atau tidaknya seseorang kecanduan seksual masih kontroversial.
Dalam studi baru, tim Prause yang menganalisis tanggapan otak pada 39 pria dan 13 wanita, berusia 18 sampai 39 tahun, yang diberi tugas untuk mengisi kuesioner tentang perilaku seksual dan kebiasaan yang mirip dengan orang yang biasanya mencari pengobatan untuk kecanduan seks, juga disebut mengalami hiperseks.
"Para relawan diperlihatkan sebuah set foto yang dipilih dengan cermat untuk membangkitkan perasaan menyenangkan atau tidak menyenangkan," jelas Prause.
"Gambar-gambar termasuk gambar tubuh dipotong-potong. Dan tentu saja, beberapa gambar seksual, gambar romantis, sementara yang lain menunjukkan hubungan eksplisit antara seorang pria dan seorang wanita." tambah Prause.
Pemikiran di balik penelitian ini adalah, jika seseorang itu benar-benar kecanduan seks, gambar aktivitas seksual akan menghasilkan lonjakan aktivitas otak, dengan cara yang sama bahwa gambar kokain telah ditunjukkan untuk mengubah aktivitas otak orang kecanduan obat .
"Namun, respons otak ke gambar seksual tidak diprediksi oleh salah satu dari tiga angket tentang hypersexuality," menurut Prause.
Respons otak hanya berkaitan dengan ukuran hasrat seksual. Dengan kata lain, hiperseksualitas tidak ditandai hanya dengan menjelaskan respons otak yang peka terhadap gambar berbau seksual dan lebih dari sekadar memiliki libido tinggi.
"Ini adalah temuan penting," kata Prause. "Jika penelitian kami dapat direplikasi, temuan ini merupakan tantangan serius terhadap teori tentang adanya kecanduan seksual," tutup Prause.
(Adt/Abd)