Profil 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Peristiwa G30S PKI

Berikut adalah profil 10 Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S PKI

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 29 Sep 2022, 21:00 WIB
Diterbitkan 29 Sep 2022, 21:00 WIB
Mengenal Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI
G30SPKI menjadi kenangan kelam bangsa ini sebab di masa itu para pahlawan dibantai secara keji.

Liputan6.com, Jakarta Pahlawan Revolusi adalah gelar yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September atau G30S PKI. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, gelar Pahlawan Revolusi ini diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Pahlawan Revolusi adalah para perwira militer yang menjadi korban dari tragedi pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965 atau yang lebih dikenal dengan peristiwa G30S PKI.

Ada 10 perwira militer yang menjadi korban dalam peristiwa pemberontakan G30S PKI. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal Haryono, Letnan Jenderal Siswondo Parman, Mayor Jenderal D.I. Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Kapten Pierre Tendean, AIP Karel Satsuit Tubun, Brigadir Jenderal Katamso Darmokusumo, dan Kolonel Sugiono.

Delapan di antara sepuluh perwira militer tersebut meninggal dunia di Jakarta, sementara dua perwira lainnya meninggal di Yogyakarta. Berikut adalah profil singkat 10 Pahlawan Revolusi, seperti yang sudah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (29/9/2022).

Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani lahir di Purworejo, 19 Juni 1922. Jenderal Ahmad Yani memulai karir militernya ketika menjalani wajib militer di tentara Hindia Belanda di bawah pemerintah kolonial.

Pada tahun 1943, tentara PETA (Pembela Tanah Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan latihan ini, Jenderal Ahmad Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa Barat untuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai instruktur.

Setelah Indonesia merdeka, Ahmad Yani bergabung dengan tentara republik dan terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Baru setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, Ahmad Yani pindah ke Tegal, Jawa Tengah.

Kemudian pada 1952, ia dipanggil untuk melawan Darul Islam, sebuah kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf umum untuk Abdul Haris Nasution.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh anggota staf umum Angkatan Darat. Sekitar 200 orang mengepung rumah Yani di Jalan Latuharhary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat.

Ketika para penculik datang ke rumah Ahmad Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan dibawa ke hadapan presiden, Ahmad Yani kemudian meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Namun para penculik menolak dan mulai melakukan aksi kekerasan. Bahkan salah satu penculik ada yang melepaskan tembakan yang mengenai Ahmad Yani. Tubuh Ahmad Yani pun dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta.

Usia saat meninggal: 43 tahun (1922 - 1965)

Lahir: Senin Legi, 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen : Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

Letjen (Anumerta) Suprapto

Letjen Suprapto
Foto Letjen Suprapto Credit: Liputan6.com

Letjen Suprapto lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Karier militer Letjen Suprapto dimulai ketika ia terlibat dalam merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Setelah itu, ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto.

Selama bergabung dengan TKR, Letjen Suprapto terlibat dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Pada bulan September 1949 ia lalu diangkat menjadi Kepala Staf Tentara dan Teritorial IV/Diponegoro di Semarang dan pada tahun 1951 berpindah ke Markas Besar TNI di Jakarta sebagai Staf Angkatan Darat.

Pada tanggal 01 Oktober dini hari, Suprapto, yang saat itu tidak bisa tidur karena sakit gigi yang dideritanya, didatangi oleh sekawanan orang, yang mengaku sebagai pengawal kepresidenan (Cakrabirawa), yang mengatakan bahwa ia dipanggil oleh presiden Soekarno untuk menghadap. Suprapto kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke Lubang Buaya, daerah pinggiran kota Jakarta, bersama dengan 6 orang lainnya.

Usia saat meninggal: 45 tahun (1920 - 1965)

Lahir: Minggu Pahing, 20 Juni 1920 di Purwokerto, Jawa Tengah

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

 

Letjen (Anumerta) S. Parman

Letjen Siswondo Parman atau yang lebih dikenal dengan S. Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada 4 Agustus 1918. Karier militer S Parman dimulai ketika ia bergabung dengan TKR, setelah kemerdekaan Indonesia. Kemudian pada Desember 1945, ia diangkat kepala staf dari Polisi Militer di Yogyakarta.

Pada tahun 1951, Parman dikirim ke Sekolah Polisi Militer di Amerika Serikat untuk pelatihan lebih lanjut. Pada tanggal 11 November tahun itu, ia diangkat menjadi komandan Polisi Militer Jakarta. Selanjutnya ia kemudian menduduki sejumlah posisi di Polisi Militer Nasional.

Sebelum hari kematiannya, S Parman sempat mendapat peringatan. Namun pada Pada malam 30 September-1 Oktober, tidak ada penjaga yang mengawasi rumah Parman di Jalan Syamsurizal no.32. Sama seperti perwira militer lainnya, pasuka Cakrabirawa hendak membawa S Parman dengan alasan yang sama, yakni untuk menghadap presiden.

Parman kemudian dimasukkan ke dalam truk dan dibawa ke basis gerakan di Lubang Buaya. Malam itu, bersama dengan tentara lain yang telah ditangkap hidup-hidup, Parman ditembak mati dan tubuhnya dibuang di sebuah sumur tua.

Usia saat meninggal: 47 tahun (1918 - 1965)

Lahir: Minggu Legi, 4 Agustus 1918 di Wonosobo, Jawa Tengah

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta

Letjen (Anumerta) M.T. Haryono

FOTO: Mengenang Jasa Pahlawan di Monumen Pancasila Sakti
Pengunjung melihat foto pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Jumat (1/10/2021). Monumen Pancasila Sakti menjadi salah satu tempat untuk mengenang jasa pahlawan pada Hari Kesaktian Pancasila berkaitan dengan peristiwa G30S. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Letjen Mas Tirtodarmo Haryono atau yang lebih dikenal M.T. Haryono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Setelah mengenyam pendidikan di ELS dan HBS, MT Haryono sempat mengenyam pendidikan di sekolah kedokteran bentukan Jepang, namun tidak selesai.

Kemudian setelah Indonesia merdeka, MT Haryono bergabung dengan  para pemuda lain untuk mempertahankan Indonesia. Setelah terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, MT Haryono kemudian bergabung dengan TKR. Pada masa awal pengangkatannya, MT Haryono mendapat jabatan sebagai Mayor. Dengan prestasinya, MT Haryono pun akhirnya berkali-kali naik pangkat hingga mendapat jabatan Letnan Jenderal.

Di akhir hayatnya, pada 1 Oktober 1965 dini hari, pasukan Cakrabirawa mendatangi rumah Haryono di Jalan Prambanan No 8. Mereka ingin membawa MT Haryono dengan alasan untuk menghadap presiden.

Pada tragedi G30S PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965, MT Haryono menjadi salah satu korban insiden lubang buaya. Ia adalah salah satu korban yang ditemukan meninggal di lubang buaya.

Usia saat meninggal: 41 tahun (1924 - 1965)

Lahir: Minggu Legi, 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

 

Mayjen (Anumerta) D. I. Panjaitan

Mayjen Donald Isaac Pandjaitan atau yang lebih dikenal sebagai D.I. Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli pada 9 Juni 1925.  Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supply) Komandemen Tentara Sumatera.

Dia juga terlibat dalam aksi pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan dari pihak PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Pandjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang Buaya.

Usia saat meninggal: 40 tahun (1925 - 1965)

Lahir: Jumat Pahing, 19 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo

FOTO: Peringatan Hari Kesaktian Pancasila
PERINGATAN HARI KESAKTIAN PANCASILA: Sejumlah Pramuka mengabadikan patung tujuh pahlawan revolusi di Monumen Pancasila Sakti (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa tengah, pada 23 agustus 1922. Karirnya di bidang militer dimulai dengan menjabat sebagai Polisi Tentara saat perjuangan kemerdekaan 1945. Setelah itu karirnya terus menanjak sehingga pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD, lalu pada tahun 1964 dinaikkan pangkatnya menjadi Brigjen.

Mayjen Sutoyo merupakan salah satu perwira militer yang menjadi korban dari kekejaman PKI. Menjelang peristiwa tersebut Mayjen Sutoyo mengalami beberapa firasat yang tidak enak. Firasat itu ternyata terbukti ketika pada tanggal 1 Oktober pukul 04.00, Brigjen TNI Sutoyo diculik oleh pasukan Cakrabirawa.

Pasukan Cakrabirawa mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya. Mayjen Sutoyo gugur dianiaya di tempat tersebut, dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.

Usia saat meninggal: 43 tahun (1922 - 1965)

Lahir: Senin Legi, 28 Agustus 1922 di Kebumen, Jawa Tengah

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta

 

Brigjen (Anumerta) Katamso

Brigjen Katamso Lahir di Sragen, Jawa tengah pada 5 Februari 1923. Karier militernya dimulai ketika ia bergabung dengan TKR setelah Indonesia merdeka. Selama masa agresi militer belanda, pasukan yang dipimpinnya sering bertempur untuk mengusir Belanda dari Indonesia. Sesudah pengakuan Kedaulatan, beliau diserahi tugas untuk menumpas pemberontakan Batalyon 426 di Jawa Tengah.

Pada tahun 1958, terjadilah peristiwa pemberontakan PRRI/Permesta waktu itu beliau menjabat sebagai Komandan Batalyon “A” Komando Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani.

Pada tahun 1963, beliau menjabat sebagai Komandan Korem 072 Kodam VII/Diponegoro yang berkedudukan di Yogyakarta. Untuk menghadapi kegiatan PKI di daerah Solo, beliau aktif membina mahasiswa. Mahasiswa mahasiswa itu diberi pelatihan militer.

Pada tanggal 1 Oktober 1965 di Yogyakarta, saat terjadi upaya kudeta oleh Partai Komunis Indonesia dengan penculikan para jenderal di Jakarta, G.30 S/PKI pun berhasil menguasai RRI Yogyakarta, Markas Korem 072 dan mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi.

Pada sore harinya mereka menculik Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem Letnan Kolonel Sugiono dan membawanya ke daerah Kentungan. Kedua perwira tersebut dipukul dengan kunci mortar dan tubuhnya dimasukan dalam sebuah lubang yang sudah disiapkan.

Usia saat meninggal: 42 tahun (1923 - 1965)

Lahir: Senin Pahing, 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Kentungan, Yogyakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Negara Semaki, Yogyakarta

Kapten (Anumerta) Pierre Tendean

Pierre Tendean, Pahlawan Revolusi Korban G30S/PKI Paling Menawan
Salah satu Pahlawan Revolusi korban G30S/PKI ternyata tampan banget dan bisa bikin hatimu meleleh. Dialah Kapten Anumerta Pierre Tendean

Kapten Pierre tendean Lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939. Karier militernya dimulai ketika dia bergabung dengan   Akademi Teknik Angkatan Darat pada 1958. Menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan merupakan tugas pertamanya setelah menamatkan pendidikan Akmil Jurtek-nya pada tahun 1962.

Pada saat terjadi peristiwa G30S, tepatnya pada 1 Oktober 1965 dini hari, Pierre sedang tidur di ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut membuatnya terbangun dan berlari ke bagian depan rumah.

PKI yang gagal menemukan Nasution yang sudah sempat melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean. Lalu Pierre mengaku bahwa dirinya adalah Nasution. Hal tersebut dilakukan untuk melindungi atasannya. Kemudian Pierre bersama enam perwira lainnya ditemukan telah menjadi mayat di satu sumur tua di daerah Lubang Buaya.

Usia saat meninggal: 26 tahun (1939 - 1965)

Lahir : Selasa Pahing, 21 Februari 1939 di Batavia (Jakarta, Indonesia)

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya, Jakarta, Indonesia

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.

 

A.I.P. II (Anumerta) K. S. Tubun

Ajun Inspektur Polisi Karel Satsuit Tubun lahir di Tual, Maluku pada 14 Oktober 1928. Setelah menamatkan pendidikan dasar, KS Tubun langsung mendaftarkan diri untuk bergabung dengan kepolisian Ambon. Kemudian setelah tamat  pendidikan kepolisian, KS Tubun diangkat menjadi polisi dengan pangkat AIP (Agen Polisi Tingkat) II dan kemudian ditempatkan dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.

Karel kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta. Setelah di Jakarta dia ikut dalam operasi militer di Irian ketika pembebasan Irian barat dari Belanda. Setelah keberhasilan tersebut dia diberi tugas untuk mengawal kediaman wakil perdana menteri Dr. J.Leiman yang membuat pangkatnya naik menjadi Brigadir Polisi.

Ketika peristiwa G30S PKI, KS Tubun tengah menjaga rumah Dr.J. Leiman. Dr.J. Leiman sendiri adalah tetangga dari Jenderal AH Nasution. Namun sebelum mencoba menangkap AH Nasution, gerombolan penculik menyekap Para pengawal rumah Dr.J. Leimena.

Hal itu menimbulkan suara gaduh yang membangunkan KS Tubun. Dia yang juga membawa senjata pun mencoba menembaki para gerombolan penculik. Namun, gerombolan itu pun juga menembaknya. K.S.Tubun pun meninggal di tempat setelah peluru pasukan PKI menembus tubuhnya.

Usia saat meninggal : 36 tahun (1928 - 1965)

Lahir : Minggu Kliwon, 14 Oktober 1928 di Tual, Maluku, Indonesia

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Jakarta, Indonesia

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta

Kolonel (Anumerta) Sugiyono

[Bintang] Mengenal Pahlawan Revolusi
Kolonel Infanteri Anumerta R Sugiyono Mangunwiyoto | Via: id.wikipedia.org

Kolonel Sugiyono MAngunwiyoto Lahir di Gunungkidul, Yogyakarta, pada 12 Agustus 1926. Kariernya militernya dimulai ketika bergabung dengan Peta. Sugiyono diangkat sebagai Budanco (Komandan Peleton) di Wonosari. Seperti para Pahlawan Revolusi lainnya, Sugiyono pun ikut bergabung ketika Badan Keamanan Rakyat (BKR) dibentuk dan diganti menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Sugiyono meninggal pada 2 Oktober 1965 setelah terjadi peristiwa G30S PKI, Sugiyono dipukul hingga tewas. Mayatnya dimasukkan ke dalam lubang. Lokasi lubang ini baru ditemukan pemerintah tanggal 21 Oktober 1965. Di dalam lubang yang sama pula, mayat Kolonel Katamso ditemukan.

Usia saat meninggal : 39 tahun(1926 - 1965)

Lahir : Kamis Legi, 12 Agustus 1926 di Gedaren, Sumbergiri, Ponjong, Gunung Kidul, DI Yogyakarta.

Meninggal: Jumat Legi, 1 Oktober 1965 di Kentungan, Yogyakarta

Lokasi Makam/Monumen: Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara Semaki, Yogyakarta.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya