Penyebab Udara Dingin Akhir-akhir Ini, Padahal Musim Kemarau

penyebab udara dingin saat musim kemarau.

oleh Woro Anjar Verianty diperbarui 16 Jul 2024, 17:45 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2024, 17:45 WIB
perempuan kedinginan
Ilustrasi perempuan yang sedang kedinginan saat cuaca dingin | copyright pexels.com/Anna Nekrashevich

Liputan6.com, Jakarta Di tengah musim kemarau yang biasanya dikenal dengan panas yang menyengat, fenomena udara dingin akhir-akhir ini mungkin mengejutkan bagi sebagian orang. Malam dan dini hari terasa lebih sejuk dari biasanya, bahkan di wilayah-wilayah yang biasanya panas. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apa yang menyebabkan perubahan cuaca ini di saat kita seharusnya menghadapi musim kemarau yang kering dan panas?

Selain itu, BMKG mencatat bahwa hujan dengan intensitas sedang hingga lebat masih berpotensi terjadi di beberapa daerah, meskipun kita berada di tengah-tengah musim kemarau. Kombinasi antara udara yang lebih dingin dari biasanya dan potensi hujan ini menambah kompleksitas dalam pola cuaca saat ini.

Apa sebenarnya yang mempengaruhi fenomena udara dingin ini di tengah musim kemarau yang seharusnya panas? Mari kita telaah lebih dalam untuk memahami penyebab dari perubahan cuaca yang terjadi akhir-akhir ini.

Lebih lengkapnya, berikut ini telah LIputan6.com rangkum dari BMKG informasi lengkapnya, pada Selasa (16/7).

Penyebab Udara Dingin Akhir-akhir Ini

ilustrasi kedinginan
Ilustrasi kedinginan/Copyright shutterstock/movchanzemtsova

Akhir-akhir ini, meskipun Indonesia secara umum sedang mengalami musim kemarau yang seharusnya ditandai dengan cuaca panas dan kering, beberapa wilayah di bagian selatan Indonesia justru mengalami suhu udara yang terasa lebih dingin dari biasanya. BMKG memberikan penjelasan bahwa fenomena ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yang terjadi dalam dinamika atmosfer regional.

Menurut BMKG, dominasi cuaca cerah yang terlihat belakangan ini disebabkan oleh angin dominan dari arah timur yang membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia ke Indonesia. Fenomena ini mengurangi pembentukan awan di langit, menjadikan hari-hari cerah sebagai ciri khas dalam beberapa hari terakhir.

Namun, mengapa malam hari terasa lebih dingin? BMKG menjelaskan bahwa kurangnya tutupan awan pada malam hari memungkinkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar langsung ke atmosfer tanpa hambatan, yang mengakibatkan penurunan suhu signifikan.

Keadaan ini diperparah oleh angin yang tenang di malam hari yang menghambat pencampuran udara, sehingga udara dingin terperangkap di permukaan bumi. Daerah dataran tinggi atau pegunungan juga cenderung lebih dingin karena tekanan udara yang lebih rendah dan kelembapan yang lebih rendah.

Peristiwa ini merupakan bagian dari fenomena alamiah yang umum terjadi selama puncak musim kemarau, khususnya pada bulan Juli hingga September. BMKG menjelaskan bahwa pada bulan Juli, Australia mengalami musim dingin dengan tekanan udara yang relatif tinggi.

Massa udara dingin dari sana bergerak menuju Indonesia melalui perairan Samudra Indonesia yang memiliki suhu permukaan laut lebih dingin, yang pada gilirannya mempengaruhi suhu udara di wilayah-wilayah seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Dengan demikian, fenomena udara dingin yang terasa akhir-akhir ini di sebagian wilayah Indonesia adalah hasil dari interaksi kompleks antara pergerakan massa udara dari Australia, kondisi cuaca cerah dengan radiasi panas malam hari yang efisien, serta karakteristik geografis Indonesia yang mempengaruhi distribusi suhu udara secara regional.

Sampai Kapan Udara Dingin Ini Berlangsung?

Fenomena cuaca dingin atau "bediding" yang sering terjadi selama puncak musim kemarau di Indonesia, khususnya antara bulan Juli hingga September, telah menjadi perhatian utama para ahli cuaca. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama dalam dinamika atmosfer regional.

Salah satu faktor yang dominan adalah angin monsun Australia yang kering dan dingin. Angin ini bertiup dari selatan, membawa massa udara dingin dari benua Australia yang saat itu sedang mengalami musim dingin. Fenomena ini mempengaruhi sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di bagian selatan seperti Jawa bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Nusa Tenggara Barat (NTB), yang secara konsisten merasakan suhu udara lebih rendah dari biasanya.

Selain pengaruh angin monsun Australia, posisi Matahari yang berada pada titik terjauh dari Bumi dalam siklus revolusinya juga berkontribusi terhadap kondisi cuaca yang dingin. Meskipun tidak begitu signifikan dibandingkan faktor-faktor atmosfer lainnya, pengaruh ini turut berperan dalam menstabilkan suhu udara pada periode tertentu.

Di siang hari, meskipun matahari bersinar terang dan langit cerah tanpa awan, udara tetap terasa dingin akibat dominasi angin monsun Australia yang menghasilkan udara dingin dan kering. Fenomena ini menjadikan suhu udara pada siang hari juga cenderung lebih rendah dari biasanya, menciptakan kontras dengan harapan musim kemarau yang kering dan panas.

Namun demikian, BMKG memprediksi bahwa suhu udara akan kembali normal seiring dengan berakhirnya musim kemarau, khususnya antara bulan Juli hingga September. Perubahan ini diprediksi akan terjadi secara bertahap seiring dengan pergeseran pola angin dan dinamika atmosfer yang mengarah ke musim selanjutnya. Dengan demikian, cuaca dingin yang terjadi saat ini di beberapa wilayah Indonesia diharapkan akan berangsur membaik menuju normalitas suhu udara yang lebih sesuai dengan musimnya.

Penyebab Hujan di Musim Kemarau

Meskipun Indonesia sedang dalam musim kemarau yang seharusnya ditandai dengan cuaca kering dan panas, beberapa wilayah di Indonesia tetap mengalami hujan sedang hingga lebat. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menjelaskan bahwa fenomena ini disebabkan oleh dinamika atmosfer yang kompleks di skala regional-global yang mempengaruhi kondisi cuaca di wilayah Indonesia.

Salah satu faktor utama yang dikemukakan adalah aktivitas fenomena Madden Julian Oscillation (MJO). MJO adalah sebuah pola cuaca global yang berkembang di sepanjang khatulistiwa, yang dapat mempengaruhi pembentukan awan hujan di wilayah-wilayah tertentu. Selain itu, terdapat juga pengaruh dari Gelombang Kelvin dan Rossby Equatorial, yang merupakan fenomena gelombang atmosfer di khatulistiwa yang berkontribusi terhadap perubahan pola cuaca di Indonesia.

Tidak hanya itu, suhu permukaan laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia juga memainkan peran penting dalam menyediakan kondisi yang mendukung pertumbuhan awan hujan yang signifikan. Suhu laut yang tinggi ini dapat menyebabkan penguapan air yang lebih intensif, yang kemudian mengarah pada pembentukan awan hujan yang lebih besar dan lebih aktif di atas wilayah Indonesia.

Dwikorita Karnawati menegaskan bahwa kombinasi dari fenomena atmosfer global seperti MJO dan gelombang equatorial, serta kondisi suhu permukaan laut yang hangat, adalah faktor utama yang memicu terjadinya dinamika cuaca yang berakibat pada turunnya hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Ini menunjukkan bahwa meskipun berada dalam musim kemarau, Indonesia masih dapat mengalami hujan yang signifikan akibat dari interaksi kompleks antara faktor-faktor atmosfer yang terlibat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya