Mengapa Laut Cina Selatan Jadi Sengketa? Berikut Sejarahnya

Setiap negara memiliki klaim teritorial masing-masing atas bagian tertentu dari Laut Cina Selatan, sehingga menjadikan wilayah ini sebagai salah satu titik sengketa kedaulatan paling kompleks dan berlarut-larut, melibatkan lebih dari dua pihak.

oleh Fitriyani Puspa Samodra diperbarui 04 Sep 2024, 14:30 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2024, 14:30 WIB
klaim tumpang tindih negara-negara Asia Tenggara, China, dan Taiwan atas Laut China Selatan (VOA Wikimedia Commons) 2
klaim tumpang tindih negara-negara Asia Tenggara, China, dan Taiwan atas Laut China Selatan (VOA Wikimedia Commons) 2

Liputan6.com, Jakarta Laut Cina Selatan (LCS) merupakan salah satu wilayah perairan paling strategis dan diperebutkan di dunia. Terletak di Asia Tenggara, perairan ini menjadi pusat perhatian internasional karena kekayaan sumber daya alam dan hasil lautnya yang melimpah, yang diperkirakan bernilai hingga triliunan dolar. 

Selain itu, Laut Cina Selatan juga terdiri atas gugusan kepulauan yang sebagian besar adalah pulau-pulau kecil tak berpenghuni, yang menjadi titik fokus dari berbagai klaim kedaulatan. Kepentingan ekonomi, strategis, dan politik yang besar ini memicu sengketa panas di antara negara-negara di kawasan, seperti Cina, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. 

Setiap negara memiliki klaim teritorial masing-masing atas bagian tertentu dari Laut Cina Selatan, sehingga menjadikan wilayah ini sebagai salah satu titik sengketa kedaulatan paling kompleks dan berlarut-larut, melibatkan lebih dari dua pihak. Artikel ini akan mengulas lebih lanjut tentang sejarah konflik di Laut Cina Selatan serta alasan di balik perebutan wilayah ini yang terus memanas, dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (4/9/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Lokasi Laut Cina Selatan

Daerah sengketa Laut China Selatan
Daerah sengketa Laut China Selatan (BBC/UNCLOS,CIA)

Laut Cina Selatan terletak di tepi Samudra Pasifik dan dikelilingi oleh beberapa negara Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk Brunei Darussalam, Cina, Malaysia, Filipina, Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Laut ini memanjang dari arah barat daya ke timur laut, dengan batas-batas yang meliputi Cina dan Taiwan di sebelah utara, Filipina di sebelah timur, Malaysia dan Brunei di barat dan selatan, serta Vietnam di sebelah barat.

Organisasi Hidrografis Internasional (International Hydrographic Bureau) menggambarkan Laut Cina Selatan sebagai wilayah perairan yang menyerupai bentuk huruf "U", mulai dari perairan Mainan hingga ke perairan timur Taiwan. Bentuk ini ditandai oleh demarkasi sembilan garis putus-putus atau "nine-dash line" yang diklaim oleh Cina sebagai batas teritorialnya. Garis ini sering disebut sebagai "lidah sapi" atau "cow's tongue" karena bentuknya yang menyerupai lidah yang menjulur.

Dengan luas sekitar 3,685 juta kilometer persegi, Laut Cina Selatan mencakup wilayah yang kaya akan terumbu karang, atol, dan ratusan pulau kecil yang sebagian besar tidak berpenghuni. Selain itu, terdapat dua gugusan kepulauan besar di kawasan ini, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, yang menjadi fokus utama klaim beberapa negara. Lokasi geografisnya yang strategis, kekayaan sumber daya alam, serta kehadiran jalur pelayaran internasional utama menjadikan Laut Cina Selatan sebagai salah satu wilayah paling diperebutkan di dunia.

Kondisi geografis dan posisi strategis Laut Cina Selatan merupakan alasan utama mengapa wilayah ini menjadi pusat sengketa dan konflik kepentingan yang melibatkan beberapa negara. Jalur laut ini tidak hanya penting bagi perdagangan global, tetapi juga memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar, menjadikannya aset yang diperebutkan dalam peta geopolitik kawasan.


Jadi Jalur Paling Penting di Dunia

Kapal Garda Pantai China menghalangi penjaga pantai Filipina BRP Cabra saat kapal tersebut mencoba menuju Second Thomas Shoal di Laut China Selatan yang disengketakan pada 22 Agustus 2023. (AP)
Kapal Garda Pantai China menghalangi penjaga pantai Filipina BRP Cabra saat kapal tersebut mencoba menuju Second Thomas Shoal di Laut China Selatan yang disengketakan pada 22 Agustus 2023. (AP)

Dari segi strategis, Laut Cina Selatan adalah salah satu jalur pelayaran paling penting di dunia. Letaknya yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia menjadikan LCS sebagai pintu gerbang komersial utama yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika. 

Jalur ini adalah rute tercepat untuk perdagangan global, yang melintasi beberapa jalur pelayaran utama dan menopang sebagian besar industri logistik dunia. Pada tahun 2016, nilai total perdagangan yang melintasi Laut Cina Selatan mencapai sekitar 3,37 triliun dolar AS, menjadikannya salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia. Selain itu, sekitar 40 persen dari konsumsi gas alam cair global transit melalui wilayah ini pada tahun 2017, menunjukkan betapa vitalnya Laut Cina Selatan bagi perdagangan energi global.

Menyimpan Cadangan minyak Melimpah

Di sisi lain, potensi ekonomi yang dimiliki Laut Cina Selatan juga sangat signifikan. Kawasan ini kaya akan sumber daya hasil laut, meskipun kerap mengalami eksploitasi berlebihan. 

Selain itu, Laut Cina Selatan diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas alam yang belum dimanfaatkan dengan total sekitar 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam. Nilai kekayaan alam ini menjadi salah satu daya tarik utama bagi negara-negara di sekitar Laut Cina Selatan untuk mengklaim wilayah tersebut, yang pada akhirnya memperburuk sengketa maritim dan teritorial di kawasan itu.

Pulau Kecil di Sekitarnya Kaya Sumber Daya Alam 

Perebutan klaim kedaulatan atas pulau-pulau kecil dan perairan di Laut Cina Selatan, yang kaya akan sumber daya alam dan bernilai ekonomi tinggi, menjadi sumber konflik berkepanjangan. Sengketa ini tidak hanya berakar pada kepentingan ekonomi, tetapi juga pada upaya negara-negara untuk memperkuat posisi strategis mereka di kawasan Asia-Pasifik yang dinamis dan kompetitif. Hal ini memicu saling curiga dan persaingan yang semakin intensif di antara negara-negara yang mengklaim kedaulatan atas wilayah Laut Cina Selatan.


Sejarah Konflik Laut Cina Selatan

BRP Sierra Madre.
BRP Sierra Madre, kapal Perang Dunia II yang diubah menjadi pos militer Filipina di Laut China Selatan. (Dok. Ritchie B. Tongo, Pool/AFP)

Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) berawal dari klaim sepihak atas wilayah perairan ini oleh beberapa negara, khususnya Cina, yang memicu ketegangan regional yang terus berlangsung hingga saat ini. Sengketa ini dimulai pada tahun 1947 ketika Cina memproduksi peta Laut Cina Selatan dengan sembilan garis putus-putus atau dikenal sebagai "nine-dash line". Peta ini menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah di dalam garis tersebut, termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel, merupakan bagian dari teritori Cina. Klaim ini kemudian ditegaskan kembali oleh pemerintah Cina setelah Partai Komunis berkuasa pada tahun 1953.

Cina mendasarkan klaimnya atas Laut Cina Selatan pada aspek sejarah, yang merujuk pada catatan dan penemuan dari masa Dinasti Han pada abad ke-2 SM hingga Dinasti Ming dan Qing pada abad ke-13 SM. Berdasarkan sejarah kuno ini, Cina berusaha mempertahankan klaimnya dengan berbagai cara, termasuk membangun fasilitas militer, mendirikan pulau buatan, dan menempatkan kapal-kapal perang di wilayah perairan tersebut untuk memperkuat posisinya.

Klaim Cina atas 80-90 persen wilayah Laut Cina Selatan berdasarkan alasan sejarah ini memicu ketegangan dengan negara-negara pesisir lain yang juga mengklaim bagian dari perairan tersebut. Negara-negara seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam memiliki dasar hukum internasional, yaitu aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), yang mengatur hak mereka atas wilayah laut hingga 200 mil laut dari garis pantai.

Vietnam, misalnya, mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly, yang mencakup hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Filipina juga mengajukan klaim atas sebagian wilayah Laut Cina Selatan, terutama Kepulauan Spratly, yang mereka sebut Kepulauan Kalayaan, dan beberapa pulau di sebelah barat Filipina seperti Scarborough Shoal. Brunei dan Malaysia, di sisi lain, mengklaim bagian selatan Laut Cina Selatan dan sebagian Kepulauan Spratly yang berada dalam batas ZEE mereka.

Ketegangan ini semakin meningkat karena setiap negara berupaya untuk memperkuat klaim mereka melalui berbagai tindakan, termasuk pembangunan infrastruktur dan aktivitas militer. Konflik ini tidak hanya melibatkan perebutan wilayah yang kaya akan sumber daya alam dan strategis bagi perdagangan global, tetapi juga menyangkut isu kedaulatan nasional dan keamanan regional, menjadikannya salah satu sengketa teritorial paling kompleks dan sensitif di dunia saat ini.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya