Liputan6.com, Jakarta - Ulama ahli tafsir KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha mengisahkan perdebatan menarik antara Imam Syafii dengan seorang penggembala kambing miskin bernama Syaiban Ar Roi. Dalam diskusi tersebut, muncul pertanyaan yang mungkin jarang terpikirkan, yaitu apakah orang miskin juga wajib membayar zakat fitrah.
Diketahui, Imam Syafi'i memiliki banyak mitra debat yang sering berdiskusi mengenai berbagai permasalahan keislaman. Salah satunya adalah Syaiban Ar Roi, seorang yang dikenal dengan kesederhanaan dan kebijaksanaannya dalam memahami agama.
Advertisement
Dalam sebuah kunjungan, Imam Syafii bertanya kepada Syaiban tentang siapa saja yang wajib mengeluarkan zakat. Pertanyaan ini dijawab dengan tegas oleh Syaiban bahwa zakat diwajibkan atas orang kaya maupun fakir.
Advertisement
Pernyataan ini kemudian dibahas lebih lanjut oleh Gus Baha, seorang ulama asal Rembang yang dikenal sebagai santri Mbah Maimoen Zubair. Dalam ceramahnya, ia menjelaskan alasan di balik pernyataan Syaiban yang terdengar tidak biasa tersebut.
Dikutip dari kanal YouTube @ngajigusbaha, Gus Baha menuturkan bahwa ada makna mendalam dalam pernyataan Syaiban yang menyebutkan bahwa orang fakir juga memiliki kewajiban zakat fitrah.
Ketika Imam Syafii merasa heran dengan jawaban tersebut, Syaiban memberikan alasan bahwa tidak semua harta orang fakir itu bersih. Ia mencontohkan banyaknya praktik dalam kehidupan sehari-hari di mana seseorang mendapatkan rezeki dengan cara yang tidak sepenuhnya jelas.
Gus Baha memberikan contoh sederhana yang sering terjadi di masyarakat. Ia menggambarkan situasi di kampungnya ketika ada acara seperti haulan atau pengajian besar yang diadakan di lapangan. Dalam kondisi tersebut, sering kali muncul tukang parkir yang bermodalkan tali rafia dan mengklaim hak untuk mengatur parkir serta menarik biaya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Membersihkan Harta Orang Miskin
Menurutnya, tindakan semacam ini menimbulkan pertanyaan dalam fikih. Apakah uang yang diperoleh dengan cara demikian bisa dianggap sebagai harta yang sah sepenuhnya atau justru perlu disucikan melalui zakat.
Dalam perspektif fikih, kepemilikan harta harus jelas. Namun, dalam kasus tukang parkir tersebut, mereka mengklaim hak atas lahan yang sebenarnya milik umum. Meski demikian, masyarakat tetap membayar uang parkir karena sudah menjadi kebiasaan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, orang miskin pun bisa mendapatkan rezeki dari sumber yang tidak sepenuhnya bersih. Oleh karena itu, menurut Gus Baha, zakat berfungsi sebagai sarana penyucian harta agar keberkahan tetap terjaga.
Gus Baha menambahkan bahwa negara memang mewajibkan zakat kepada orang kaya karena mereka memiliki harta yang dapat dikenai kewajiban tersebut. Namun, ini tidak berarti bahwa orang miskin dilarang untuk berzakat.
Sebaliknya, jika seseorang merasa bahwa rezeki yang didapatnya berasal dari sumber yang tidak jelas, maka sangat dianjurkan untuk berzakat. Dengan demikian, zakat bukan hanya kewajiban bagi orang kaya, tetapi juga merupakan bentuk penyucian bagi siapa pun yang memperoleh harta dengan cara yang tidak sepenuhnya bersih.
Dalam Islam, zakat memiliki filosofi utama sebagai tadhirul mal, yakni mensucikan harta. Dengan menunaikan zakat, seseorang telah membersihkan hartanya dari segala hal yang meragukan dan menjadikannya lebih berkah.
Advertisement
Tak Sekedar Kewajiban, tapi Juga Kesadaran Sosial
Gus Baha juga mengingatkan bahwa konsep zakat bukan sekadar kewajiban, tetapi juga merupakan bentuk kesadaran sosial dan spiritual. Melalui zakat, seorang muslim tidak hanya membersihkan hartanya, tetapi juga membantu mereka yang membutuhkan.
Dalam praktiknya, zakat fitrah menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu, termasuk orang yang kurang mampu tetapi memiliki penghasilan meskipun kecil. Ini sejalan dengan konsep bahwa zakat bukan hanya untuk mereka yang berlebihan dalam harta, tetapi juga bagi mereka yang ingin menjaga keberkahan rezeki mereka.
Lebih lanjut, Gus Baha mengajak umat Islam untuk tidak hanya memandang zakat sebagai beban, tetapi sebagai bagian dari ibadah yang membawa manfaat besar. Zakat bukan hanya membersihkan harta, tetapi juga membersihkan hati dari sifat tamak dan egoisme.
Di samping itu, dengan menunaikan zakat, seseorang telah membantu sesama yang membutuhkan. Hal ini menciptakan keseimbangan sosial dan mempererat tali persaudaraan di antara sesama muslim.
Menurut Gus Baha, Islam adalah agama yang penuh kasih sayang dan menekankan pentingnya berbagi. Oleh karena itu, mereka yang mampu, meskipun dengan jumlah yang sedikit, tetap dianjurkan untuk berzakat agar keberkahan tetap mengalir dalam kehidupan mereka.
Pada akhirnya, zakat bukan hanya tentang harta, tetapi juga tentang bagaimana seorang muslim menjaga keikhlasan dan keridhaan dalam menjalankan perintah Allah. Dengan begitu, hidup akan lebih berkah dan penuh dengan rahmat-Nya.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
