Hukum Mengucapkan Selamat Hari Natal Menurut Muhammadiyah

Hukum ucapan selamat natal bagi umat Islam yang diucapkan kepada umat Kristen kerap menimbulkan polemik di masyarakat

oleh Liputan6.com diperbarui 22 Des 2022, 00:30 WIB
Diterbitkan 22 Des 2022, 00:30 WIB
Ilustrasi Hadiah Natal
Intip beberapa tips bermanfaat untuk menghemat budget hadiah Natal. (unsplash.com/Hert Niks)

Liputan6.com, Jakarta - Sebentar lagi umat Nasrani di dunia merayakan hari Natal 2022, pada 25 Desember 2022. Bagi umat Islam, salah satu topik yang kerap diperdebatkan adalah hukum mengucapkan selamat hari Natal.

Lantaran hal ini terkait erat dengan istinbath al-hukmi, maka sejumlah ormas Islam, seperti MUI, NU, hingga Muhammadiyah mengeluarkan fatwa tentang hal tersebut. Mengutip Muhammadiyah.or.id, Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membahasnya di Pengajian Tarjih pada Rabu (22/12) dengan Wawan Gunawan Abdul Wahid selaku pembicara.

Menurut Wawan, para ulama berbeda pendapat terkait persoalan ini disebabkan oleh Ijtihad mereka dalam memahami generalitas (keumuman) ayat atau hadis. Ada ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal karena dasar hukum mengikuti prosesi natal bagi mereka memang boleh. Ada pula ulama yang lebih memilih berhati-hati karena mengucapkan selamat natal berarti dia telah memberikan kesaksian palsu.

“Mengapa muncul perbedaan pandangan hukum? Ada beberapa sebab. Bisa dilihat dari penempatan persoalan ini adalah apakah mengucapkan selamat hari natal itu bagian dari persoalan keseharian belaka atau muamalah, atau apakah berkaitan dengan akidah?” tanya Wawan, dikutip dari laman Muhammadiyah, Rabu (21/12/2022).

Para ulama yang mengharamkan pengucapan selamat hari natal karena berdasarkan penafsiran QS. Maryam ayat 23-26. Dalam ayat tersebut, Jibril memerintahkan Maryam yang sedang melahirkan Isa al Masih untuk meraih pangkal pohon kurma itu kearahnya lalu mengambil buahnya yang telah matang untuk dimakan. Kehadiran buah kurma memberikan isyarat bahwa kelahiran Isa al Masih bukan di musim dingin dan dengan demikian tanggal 25 Desember bukan kelahiran Putra Maryam tersebut.

Sementara para ulama yang membolehkan pengucapan selamat hari natal berlandaskan pada QS. Al Mumtahanah ayat 8. Dalam ayat tersebut, Allah tidak melarang untuk berbuat baik kepada orang-orang yang tidak memerangi umat Islam. Karenanya, mengucapkan selamat natal merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada orang non-muslim, sehingga perbuatan tersebut diperbolehkan.

“Adanya perbedaan ini menunjukkan adanya keragaman pemahaman akan nash. Teksnya sama, ayatnya sama, bagi kelompok yang membolehkan (ucapan selamat natal) QS. Al Mumtahanah ayat 8 itu digunakan, tapi bagi yang mengharamkan tidak mendasarkan pada Al Mumtahanah ayat 8,” terang alumni angkatan pertama Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Garut ini.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Pendapat Muhammadiyah

Perbedaan semacam ini hendaknya tidak boleh menjadikan internal umat Islam terpecah belah. Umat Islam harus memahami bahwa di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah tidak disebutkan secara spesifik terkait dengan kebolehan atau keharaman mengucapkan selamat natal. Karena termasuk aspek ijtihadiyah, maka hal ini merupakan kreasi nalar manusia dan refleksi terhadap realitas.

“Tidak ada dalil yang tegas mengucapkan selamat hari natal itu tidak boleh atau mengucapkan natal itu boleh. Yang ada itu dalil-dalil yang dipahami. Teks itu ada yang manthuq, ada yang mafhum. Dalil manthuq (tersurat) terkait hal ini tidak ada, adanya yang mafhum (tersirat),” tutur Wawan.

Dalam Tanya Jawab Agama jilid II, Majelis Tarjih mengeluarkan fatwa dengan menyarankan agar tidak dilakukan pengucapan selamat hari natal kepada umat Kristen. Sementara dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 disebutkan kebolehan membantu atasan di kantor dalam perayaan natal seperti penyediaan kursi, ornament, dan lain-lain.

Karenanya, Wawan menyimpulkan bahwa hukum pengucapan hari natal termasuk aspek muamalah yang harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang menyertai kita.

“Dalam satu situasi minoritas, ia berada di lingkungan minoritas, bila tidak mengucapkan selamat hari natal akan terjadi sesuatu, maka mengucapkannya bagian dari yang disampaikan (boleh). Tapi dalam satu lingkungan tertentu, misalnya, sering berbagi makanan dengan non muslim dalam rapat RT setempat, dan tidak ada satu keharusan mengucapkan selamat hari natal, karena telah terjalin hubungan yang baik dengan non muslim,” kata Wawan.

Perbedaan Fatwa Tarjih yang terdapat di Tanya Jawab Agama jilid II dan Suara Muhammadiyah no 5 tahun 2020 sebenarnya dapat dilihat dengan al-jam`u wat taufiq atau kompromi. Dalam kondisi minoritas di mana toleransi begitu diperlukan agar terjalin keharmonisan, maka boleh mengucapkan selamat hari natal. Sementara dalam situasi yang tidak menuntut adanya toleransi di lingkungan kita (karena memang telah harmonis), sebaiknya menghindari ucapan selamat hari natal kepada umat Kristiani.

“Kalau ada yang bertanya, kok bisa berbeda? Ya karena situasi yang menuntut untuk adanya perbedaan,” tegas Wawan.

Tim Rembulan

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya