Liputan6.com, Jakarta - Sejak masa silam, berkuda begitu populer. Para pahlawan kerap digambarkan menghela kuda nan gagah.
Budaya kuda tak terbatas negara. Eropa hingga Asia, Afrika hingga India. Semuanya ada budaya berkuda.
Advertisement
Tak pelak, budaya berkuda melampaui ruang dan waktu. Sebab, hingga kini berkuda juga menjadi salah satu cabang olahraga dan hobi yang populer.
Advertisement
Baca Juga
Syahdan, pada zaman Rasulullah SAW, kuda juga menjadi salah satu harta yang penting. Kuda menjadi alat transportasi hingga peralatan perang.
Nyaris semua pahlawan-pahlawan Islam, sebagaimana budaya Arab kala itu, adalah para penunggang kuda yang mahir. Kemudian, lahirlah pandangan bahwa berkuda adalah kesunnahan.
Bahkan, banyak pula klub, tempat kursus, dan bahkan lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang mengampanyekan berkuda dengan dalih sunnah.
Lantaran dianggap dianjurkan untuk dilakukan, maka ada pula pandangan bahwa yang tidak berlatih berkuda adalah orang yang tak melakukan sunnah Nabi.
Lantas, benarkah berkuda sunnah, apa dalilnya? Jika berdasar hadis, bagaimana kesahihan atau derajat hadisnya?
Simak Video Pilihan Ini:
Dikaitkan dengan Perintah Umar bin Khattab
M Alvin Nur Choironi dalam tulisannya di kanal Bahtsul Masail NU Online menjelaskan, seringkali ada kampanye berkuda dengan dalih sunnah. Biasanya hadis dibawah yang digunakan sebagai dalil kesunnahan berkuda.
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَتَبَ إِلَى أَهْلِ الشَّامِ أَنْ عَلِّمُوا أَوْلادَكُمُ السِّبَاحَةَ وَالرَّمْيَ وَالْفُرُوسِيَّةَ
Artinya, “Umar bin Khattab telah mewajibkan penduduk Syam supaya mengajar anak-anak kamu berenang, dan memanah, dan menunggang kuda.”
Hadis di atas sering kali disandarkan kepada Imam Bukhari dan Muslim seolah-olah hadits tersebut memang benar-benar sahih karena diriwayatkan oleh keduanya. Padahal saat coba kita cari, hadits tersebut sama sekali tidak pernah tercantum dalam satu bab pun di Sahih Bukhari maupun Muslim.
Benarkah hadits di atas sahih? Dan benarkah belajar berkuda itu sunah?
Setelah ditakhrij, ternyata hadits di atas memang tidak tercantum dalam dua kitab sahih, baik Bukhari maupun Muslim. Hadis di atas hanya tercantum dalam kitab Kanzul Umal fi Sunanil Aqwali wal Af’al karya ‘Alauddin Ali bin Hisamuddin Al-Hindi dan kitab Jamiul Ahadits karya Imam As-Suyuthi.
"Hadits di atas hanya sampai pada Umar bin Khattab dan tidak berstatus marfu’ alias mauquf (hanya sampai pada sahabat). Dalam ilmu hadits, mauquf adalah setiap sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (bukan kepada Nabi). Hukum melakukannya bukan wajib," tulis M Alvin Nur Choironi, dikutip dari laman nu.or.id, Jumat (7/7/2023).
Karena pada hakikatnya mauquf adalah perkataan atau amal sahabat sampai ditemukan hadits lain yang memang benar-benar sahih dan marfu’. Dalam riwayat lain melalui Ibnu Umar dengan redaksi yang agak mirip ternyata sama sekali tidak menyebutkan berkuda atau anjuran berkuda. Hadits tersebut tercantum di kitab Syu’abul Iman karya Al-Baihaqi:
عن ابن عمر ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « علموا أبناءكم السباحة والرمي ، والمرأة المغزل » عبيد العطار منكر الحديث
Artinya, “Dalam hadits di atas, setelah kata ar-ramyu, tidak disebutkan kata 'furusiyah' sebagaimana hadits sebelumnya, melainkan al-mar’ah al-mighzal yang artinya pemintal bulu atau katun, baik manual maupun dengan alat khusus.”
Bahkan hadits di atas pun dinilai sebagai dhaif jiddan (lemah parah) karena salah satu perawinya yang bernama Ubaid Al-Athar divonis sebagai munkarul hadits. Dan hadits yang statusnya lemah parah seperti di atas tidak boleh diamalkan.
Advertisement
Hadis tentang Kuda yang Sahih dan Hukum Berkuda
Lantas, adakah hadis lain tentang kuda yang sahih? Jawabnya ada. Tetapi hadis tersebut berkaitan dengan belajar menunggangi kuda dan melatih kuda agar jinak dan bisa dipergunakan sebaik-baiknya, dalam hal ini digunakan untuk berperang. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra yang juga diriwayatkan oleh At-Timirdzi dengan hasan-sahih berikut.
كُلُّ شَىْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فَهُوَ سَهْوٌ وَلَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعًا مَشْىَ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ وَتَأْدِيبَهُ فَرَسُهُ وَتَعَلُّمَهُ السِّبَاحَةَ وَمُلاَعَبَتَهُ أَهْلَهُ
Artinya, “Setiap sesuatu selain bagian dari zikir kepada Allah adalah sia-sa dan permainan belaka, kecuali empat hal: latihan memanah, candaan suami kepada istrinya, seorang lelaki yang melatih kudanya, dan mengajarkan renang.” Dalam riwayat Ibnu Majah juga diriwayatkan dengan redaksi berbeda:
وَكُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الْمَرْءُ الْمُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلَّا رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسَهُ وَمُلَاعَبَتَهُ امْرَأَتَهُ
Artinya, “Setiap hal yang melalaikan seorang Muslim hukumnya batil kecuali memanah dengan busur, melatih kuda, dan canda dengan istri.” Al-Minawi dalam kitab Faidhul Qadir mencoba mendudukkan aktivitas melatih kuda sebagai usaha untuk memenangkan sebuah peperangan.
أوتأديبه فرسه) أي ركوبها وركضها والجولان عليها بنية الغزو وتعليمها ما يحتاج مما يطلب في مثلها . وفي معنى الفرس : كل ما يقاتل عليه
Artinya, “Yang dimaksud dengan ‘melatih kuda’ adalah menaikinya, memacunya, dengan melakukan perjalanan dengannya serta mengajari kuda tersebut beberapa hal yang diperlukan. Adapun makna kuda adalah setiap kendaraan yang digunakan untuk berperang.”
Dari keterangan Al-Minawi di atas, bisa kita ambil simpulan bahwa kuda hanyalah bagian dari alat perang masa itu yang bisa digunakan. Tentunya, di masa yang serba canggih saat ini, sebagai pengejawentahan dari makna kuda yang disebut Al-Minawi, kita seharusnya mampu menggunakan peralatan-peralatan canggih yang bisa digunakan berperang. Misalnya, tank, helikopter, pesawat tempur atau alat utama sistem senjata (alutista) lain.
Itu bagi perang yang berupa fisik. Itupun karena pada saat itu, peperangan adalah sebuah hal yang tidak bisa dipisahkan untuk bertahan hidup.
Di saat sekarang, ketika kita hidup di masa damai, maka peperangan sesungguhnya adalah perang pemahaman, pemikiran atau keilmuan. Dan kendaraan untuk memenangkan peperangan tersebut adalah membaca dan belajar.
Maka dari itu, belajar berkuda atau menjadi atlit berkuda adalah sah-sah saja dan tidak ada yang mempermasalahkan karena keahlian orang berbeda-beda. Tetapi jangan sampai terlalu fanatik hingga menjadikan berkuda sebagai sunah hanya karena memahami hadits secara tekstual lalu menyalahkan orang-orang yang tak bisa berkuda yang tentunya memiliki keahlian lain selain berkuda.
Memahami suatu hadits tak cukup dengan membacanya lalu membaca terjemahannya. Memahami hadits juga memerlukan latihan intensif dan keilmuan khusus sebagaimana berlatih kuda. Wallahu a’lam.
Tim Rembulan