Benarkah Semua Bid'ah itu Sesat? Begini Penjelasan Hukum Syariatnya

Bid‘ah sendiri secara bahasa berasal dari bahasa Arab akar kata bada‘a yang artinya mengadakan (membuat) sesuatu yang baru. Secara istilah, bahwa bid’ah merupakan sesuatu yang baru yang tidak ada di zaman Rasul, atau sesuatu hal yang tidak dilakukan Rasul.

oleh Putry Damayanty diperbarui 06 Sep 2023, 18:30 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2023, 18:30 WIB
Hadis, sunnah, Islam
Hadis, sunnah, Islam. Image by Amirul Islam from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Kita semua tentunya tidak asing lagi dengan istilah bid’ah. Sebuah kata yang yang kadang menjadikan telinga panas, hati geram dan adu argumen dengan dalil bahkan bertikai fisik, tapi ada juga yang hanya menertawakanya dengan riang.

Kemudian kata ini menjadikan suatu alat pembenaran dan pembelaan oleh sekelompok yang mengatasnamakan Islam yang murni, atau Islam sesuai sunnah Nabi yang kemudian justru banyak menimbulkan adu argumen, karena mengadili kelompok yang tidak sepaham dengan makna bid’ah dengan kata kafir, sesat, dan lain sebagainya.

Beberapa ulama pun mencari jalan keluar atau titik terang dari polemik tersebut, menggunakan pemahaman makna yang serius dengan ditinjau dari sudut dalil aqli maupun naqli.

Mengutip dari laman NU online, Imam Syafi'i membagi bid'ah menjadi dua. Bid'ah mahmudah (terpuji) dan bid'ah Madzmumah (tercela).

Jika sesuai dengan sunnah, maka bid'ah mahmudah, namun jika bertentangan dengan sunnah, maka itu itu bid'ah madzmumah. Tapi ada yang menyebut, semua bid'ah itu sesat, apa maksudnya?

Imam an-Nawawi menjawab, Sabda Rasulullah SAW, "Semua bid'ah itu sesat," ini kalimat yang bersifat umum, tetapi dikhususkan. Maka maknanya, "pada umumnya bidah itu sesat".

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Bid'ah yang Sesuai Syariat

Meski ulama-ulama salaf sudah menerangkan makna bid’ah dengan berbagai contoh, namun sampai sekarang masih banyak kelompok yang kekeh dengan istilah semua bid’ah adalah sesat. Padahal kita dalam kehidupan sehari-hari selalu menggunakan barang bid’ah, barang baru yang tidak ada di zaman Rasulullah, seperti handphone, motor, tv, laptop, dan masih banyak lainnya.

Kemudian ada yang kembali memprotes bahwa bid’ah urusan dunia itu tidak apa-apa, tapi kalau sudah syariat agama baru itu yang sesat. Tapi, bukankah perangkat dunia adalah pelengkap dari ibadah. Contoh Allah menyuruh manusia untuk menutup aurat, lalu kita tutup dengan produk manusia bernama pakaian, berupa jubah, celana, kaos, sarung dan sebagainya.

Di Indonesia, sekarang khutbah Jumat banyak yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal. Padahal Rasul sendiri tidak pernah berkhutbah menggunakan bahasa selain Arab. Dan hal semacam ini, dilakukan juga oleh kelompok  yang menganggap bid’ah orang lain. Padahal khutbah dalam shalat jum’at merupakan rukun shalat.

Contoh lainya yang lebih krusial, yakni mereka membaca Al-Qur’an yang menggunakan khat Naskhi dengan harakat dan titik. Padahal hal tersebut bid’ah tidak pernah ada di zaman Rasul, dan Rasul tidak pernah mengajarkannya.

Yahya bin ibnu Abu Katsir meriwayatkan bahwa secara umum, riwayat itu menyebutkan, pada awalnya Al-Qur'an tidak memiliki tanda baca sama sekali, baik berupa titik maupun harakat (syakl).

Dikuatkan dengan pendapat Oman, bahwa dalam sejarah perkembangan Islam, Al-Qur’an yang pertama kali di masa Nabi Muhammad SAW dan di masa para sahabat ditulis dengan khat Hijazi. Sedang khat Hijazi hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab saja. Kemudian Al-Qur’an berkembang ke wilayah yang azami (Non Arab), sehingga khat dilengkapi dengan syakal, titik dan seterusnya. Sedangkan pemberi titik dan harakat pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu al-Aswad ad-Duali (69 H). Fakta ini diungkapkan dalam kitab Al-Muhkam fi Naqth al-Mashahif karangan Abu Amar Utsman bin Sa'id ad-Dani (444 H).

Mempermudah Umat

Selain Ad-Dauli, ada beberapa sosok lainnya yang berperan dalam menyebarkan dan mengenalkan tanda baca titik di wilayah Bashrah, Irak. Seperti Yahya bin Ya'mur al-'Adwani dan Nashr bin 'Ashim al-Laitsi. (An-Nuqath al-Mathbu’ Ma’a al-Muqni’, hlm. 129). Seabad kemudian, Al-Khalil bin Ahmad menyempurnakannya dengan meletakkan tanda baca seperti hamzah, tasydid raum, dan isymam. (al-Itqan fi Ulum al-Quran, hlm. 219). Sedangkan tanda-tanda tajwid, tanda washal, atau waqaf. Semua ini tidak ada dalam naskah mushaf Utsmani. Baru dibubuhkan dalam Al-Quran setelah adanya ilmu tajwid. Jadi selama 40 tahun umat Islam membaca Alquran tanpa ada titik dan syakal. 

Bisa kita bayangkan jika tidak ada sahabat Nabi yang mengkodifikasi Al-Qur’an niscaya hanya para penghafal Al-Qur’an-lah yang hanya melantunkan Al-Qur’an dengan sempurna. Dan jika tidak ada ulama yang memperbaharui tanda baca dalam naskah al-Qur’an, mungkin kita akan gelap gulita, dan hanya segelintir orang Islam yang dapat membacanya. Itupun jika mereka mempelajari Nahwu dan Sharaf. Bahkan untuk mempelajarinya kita harus dengan guru dan kitab-kitab nahwu karangan para ulama terdahulu, yang semacam ini tidak pernah ada di zaman Rasul, alias bid’ah. 

Maka dengan cara bid’ah-lah syariat Islam tetap terwariskan sampai saat ini. Semua berkat para pembaharu Islam di zaman sahabat, tabi'in dan seterusnya. Islam semakin berkembang pesat dan selalu berselaras dengan desakan dan kebutuhan pada zamannya, hingga Islam tidak jumud dan mati rasa. 

Islam juga berselaras dengan sosio kultur setempat hingga menjadikan bahwa jalan untuk berislam itu sangat banyak dan mudah. Jika tidak dengan cara demikian mungkin, orang Muslim di seluruh dunia sangat sedikit dan tertinggal dengan yang lainya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya