Liputan6.com, Jakarta - Persoalan dalam rumah tangga sangatlah kompleks yang bisa menjadi sumber konflik antara suami istri. Begitu pun perihal keuangan dalam rumah tangga.
Ada yang berpendapat bahwa dalam sebuah pernikahan, penghasilan suami secara otomatis menjadi hak istri. Sementara yang lain beranggapan bahwa pembagian keuangan rumah tangga harus didasarkan pada kesepakatan bersama.
Advertisement
Beberapa pasangan memilih sistem pembagian yang lebih adil dan transparan dalam mengelola keuangan keluarga. Pada akhirnya, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam mengatur keuangan.
Advertisement
Baca Juga
Pembagian ini tidak hanya soal siapa yang berhak, tetapi juga tentang keadilan dan saling menghargai peran masing-masing. Hal yang terpenting adalah adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri terkait pembagian uang dan tanggung jawab finansial
Lantas, bagaimanakah pandangan Islam tentang hal ini? Berikut ulasannya dikutip dari NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Hak Laki-Laki dan Perempuan
Sebelum sampai ke sana, di awal perlu dibahas terlebih dahulu situasi perihal kedudukan perempuan pada saat Al-Qur’an diturunkan. Pada saat Islam datang, peradaban manusia terkait kedudukan perempuan terbilang masih rendah. Perempuan selamanya berada dalam “perbudakan.” Selagi kecil, ia berada di bawah belenggu ayahnya. Setelah menikah, belenggu perempuan berpindah tangan kepada suaminya.
Sebagai entitas di bawah kuasa orang lain, perempuan saat itu tidak memiliki hak atas harta, bahkan atas hidupnya sendiri. Tidak heran kalau Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 menyinggung anak perempuan yang dikubur hidup-hidup. Al-Qur’an mempertanyakan dosa apa yang dilakukan anak perempuan sehingga layak dibunuh hidup-hidup. Adapun Surat At-Takwir ayat 8 dan ayat 9 berbunyi sebagai berikut:
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.”
Oleh karena itu, Islam kemudian datang untuk membebaskan perempuan dari belenggu perbudakan yang menjadi sistem sosial saat itu. Islam mengembalikan atau memulihkan kepribadian perempuan yang disia-siakan. Islam memberikan hak kepada perempuan secara sempurna dalam relasinya dengan masyarakat dan keluarga. Hal ini disebutkan oleh Imam M Abu Zahrah dalam Ushulul Fiqih-nya ketika membahas sisi kemukjizatan Al-Qur’an.
“Islam memberikan hak-hak perempuan secara sempurna. Islam menjadikan harta perempuan otonom secara kepemilikan dari harta suami dalam struktur keluarga,” (Imam M Abu Zahrah, Ushulul Fiqh, [Beirut, Darul Fikr Arabi: 2012 M/1433 H], halaman 85).
Dari semangat Al-Qur’an dalam pemulihan hak-hak perempuan ini, ulama fiqih kemudian memberikan garis yang jelas terkait hak kepemilikan bagi perempuan dalam hal ini sebagai istri. Ulama mengatakan bahwa seorang perempuan berhak atas mahar dan nafkah; dan berhak diperlakukan secara manusiawi.
Dengan demikian, perempuan memiliki kedaulatan atas kepemilikan harta. Kedaulatan perempuan atas kepemilikan harta ini tertuang jelas dalam perintah Al-Qur'an pada Surah An-Nisa’ ayat 4 perihal kewajiban pemberian mahar oleh seorang suami kepada istrinya.
Dari sini kemudian dapat disimpulkan bahwa Islam memberikan garis yang jelas terkait hak laki-laki dan hak perempuan. Perempuan dalam hal ini istri memiliki hak atas harta, yaitu mahar dan nafkah. Sedangkan laki-laki dalam hal ini suami juga memiliki hak atas harta.
Advertisement
Harta atas Hak Milik Suami
Lalu bagaimana dengan pernyataan “uang suami milik istri dan uang istri milik istri?”
Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah. Kalimat tersebut mengandung dua pernyataan yang perlu diuji satu per satu. Pertama, pernyataan, “uang suami (adalah) milik istri.”
Uang suami mungkin saja milik istri dan mungkin juga bukan milik istri. Uang suami yang menjadi milik istri adalah hak nafkah yang seharusnya diterima oleh istri.
Tetapi uang suami mungkin juga bukan milik istri, yaitu uang suami di luar keperluan nafkah istri (dan anak). Dengan demikian, kalau dikatakan bahwa (semua) uang suami adalah milik istri justru merampas hak suami atas kepemilikan uangnya.
Harta atas Hak Milik Istri
Adapun pernyataan kedua, “uang istri milik istri,” adalah benar adanya sebagaimana dijamin oleh Islam terkait hak perempuan atas kepemilikan harta.
Penjelasan ini tampak sangat teknis dan domestik sekali. Tetapi hak-hak suami dan istri ini perlu dibicarakan sehingga jelas kedudukan masing-masing pihak atas kepemilikannya.
Namun demikian, pada praktiknya secara umum, suami dan istri mengelola (memberikan pertimbangan setidaknya) secara bersama uang yang mereka miliki dan satu sama lain dapat saling membantu dalam mengatasi keuangan satu sama lain seperti dinyatakan dalam Surah An-Nisa’ ayat 4.
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Artinya: Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Advertisement