Liputan6.com, Cilacap - Tidak terasa kita akan kembali berjumpa dengan bulan mulia yakni bulan Ramadhan. Berbagai persiapan tentunya telah dilakukan untuk menyambut kedatangan bulan Ramadan 2025.
Di bulan suci ini, umat Islam yang telah baligh wajib melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Sebagaimana kita ketahui puasa pada bulan ini merupakan rukun Islam yang keempat.
Advertisement
Jika seorang muslim tidak melaksanakan puasa di bulan ini padahal telah baligh dan tidak ada halangan yang dibenarkan oleh syara’ maka ia berdosa.
Advertisement
Baca Juga
Orangtua Tidak Pernah Sholat Meninggal, Apakah Bisa Diganti Fidyah? Simak Penjelasan Gus Baha Sekaligus Solusinya
Sudah Sholat Tarawih dan Witir, Apakah Boleh Sholat Tahajud? Begini Penjelasan UAH
Resep Tokcer Gus Baha untuk Orang Frustasi yang Banyak Utang dan Istri Minggat, Cukup Lakukan Hal Mudah Ini
Berkaitan dengan puasa, salah satu hal yang menarik untuk dikupas ialah masalah berbuka puasa. Salah satunya ialah tentang buka puasa tetapi mengikuti adzan magrib yang berkumandang dari tetangga desa.
Pertanyaannya ialah apakah puasanya tetap sah?
Simak Video Pilihan Ini:
Tidak Berpatokan pada Adzan
Mengutip NU Online, sebenarnya, waktu berbuka puasa, sebagaimana dalam literatur turats, tidak berpatokan pada waktu azan, melainkan dilihat dari terbenamnya matahari di waktu sore yang tak lain merupakan waktu masuknya shalat Maghrib.
أن التحلل عن الصوم يحصل بدخول وقت الافطار وهو غروب الشمس تعاطي المفطر أم لا
Artinya: “Seseorang bisa dikatakan terbebas dari tanggungan berpuasa ketika telah masuk waktu berbuka dengan terbenamnya matahari (masuk waktu Maghrib), baik orang yang berpuasa telah makan atau tidak.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Mesir, Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra:1983], juz IV, halaman 172).
Waktu Maghrib merupakan waktu dibolehkannya berbuka bagi orang yang berpuasa, berlandaskan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di dalam Kitab Musnad Ahmad, sebagai berikut:
صَلَّى بِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ
Artinya: “Rasulullah saw shalat Maghrib bersamaku (Ibnu Abbas) di waktu berbukanya orang yang berpuasa, kemudian beliau shalat Isya denganku ketika mega-mega merah telah hilang, lalu shalat Fajar (Subuh) bersamaku ketika diharamkannya makan dan minum bagi orang yang berpuasa”. (Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, [Muassatur Risalah: 2001], juz I, halaman 333).
Adapun waktu Maghrib dengan berlandaskan jam waktu shalat yang merupakan hasil perhitungan astronomis, sejatinya untuk mempermudah umat manusia dalam mengetahui masuknya waktu shalat, salah satunya waktu maghrib, tanpa harus meneliti terbenamnya matahari. Karena waktu shalat yang beredar di masyarakat merupakan hasil dari perhitungan ilmu falak yang bisa dipastikan kebenarannya.
Advertisement
Bolehkan Buka Puasa setelah Mendengar Adzan Tetangga Desa?
Terkait perbedaan azan yang dikumandangkan antara satu desa dengan desa yang lain, bahkan terkadang terjadi perbedaan di beberapa masjid, sekalipun satu desa, ini disebabkan aturan waktu yang ada tidak sama; ada yang cepat dan ada juga yang lambat, bukan karena perbedaan waktu shalat.
Maka berbuka puasa mengikuti azan desa sebelah hukumnya boleh, selama masih satu daerah, seperti: sekabupaten Probolinggo. Karena tidak ada perbedaan jam waktu shalat selama masih satu daerah. Kebolehan ini dengan syarat ketika matahari telah terbenam secara nyata, bahkan disunahkan bersegera untuk berbuka.
Sebaliknya, jika hanya menduga-duga akan terbenamnya matahari atau ragu-ragu, maka tidak disunahkan bersegera untuk berbuka, bahkan haram.
يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ إذَا تَيَقَّنَ الْغُرُوبَ خَرَجَ بِهِ ظَنُّهُ بِاجْتِهَادٍ فَلَا يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ بِهِ وَظَنُّهُ بِلَا اجْتِهَادٍ وَشَكُّهُ فَيَحْرُمُ بِهِمَا
Artinya: “Disunahkan segera berbuka puasa jika matahari terbenam secara nyata, terkecuali jika hanya menduga-duga dengan adanya ijtihad akan terbenamnya matahari, maka tidak disunahkan dan apabila menduga tanpa adanya ijtihad, bahkan ragu akan terbenamnya matahari, maka hukum bersegera untuk berbuka menjadi haram.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darl Ihya’ at-Turats al-Arabi: tt], juz XIII, halaman 406).
Kesunahan bersegera untuk berbuka puasa berdasarkan hadits shahih Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisah, sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : ثَلاَثَةٌ مِنَ النُّبُوَّةِ : تَعْجِيلُ الإِفْطَارِ ، وَتَأْخِيرُ السُّحُورِ ، وَوَضْعُ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
Artinya: “Diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah, beliau berkata: “Ada tiga hal yang merupakan ajaran Nabi saw; bersegera untuk berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat.” (Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], juz IV, halaman 401).
Memang bersikap hati-hati dalam menentukan waktu berbuka sangat penting, karena ketika salah sedikit–tanpa adanya usaha–dalam menentukan hal tersebut, maka berakibat fatal terhadap keabsahan puasa. Artinya, menahan diri dari rasa lapar dan haus selama satu hari menjadi sia-sia karena puasanya tidak sah. Namun demikian, kehati-hatian tersebut tidak boleh berlebihan, sekiranya tidak sampai menimbulkan rasa was-was yang bisa menyiksa terhadap diri seseorang. Wallahu a’lam.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
