Liputan6.com, Tanjung Datuk Hari menjelang siang disebuah kawasan terpencil itu. Tanjung Datuk, itulah nama kawasan terisolir itu. Wilayah ini berada di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat.
Untuk mencapai kawasan Tanjung Datuk membutuhkan waktu satu jam lebih lamanya dengan menggunakan perahu motor dari Desa Temajuk. Sebab, akses jalan darat belum bisa terlewati, masih hutan belantara.
Adalah Parhad. Ia merupakan warga kawasan Tanjung Datuk. Pria berusia 50 tahun ini menuturkan, Tanjung Datuk memang masuk wilayah Indonesia. “Itu wilayah kita,” ungkapnya, hari ini.
Advertisement
Perahu berkapasitas 15 PK ini melaju kencang di atas permukaan air laut kawasan Tanjung Datuk. Air laut yang jernih. Ombak pun hanya sesaat ada. Di sisi laut tampak hutan yang masih asri hijau.
Pohon kayu berukuran besar ada di hutan kawasan Tanjung Datuk ini. Flora dan fauna ada di kawasan hutan Tanjung Datuk ini. Pantas saja wilayah ini diperebutkan oleh negara Malaysia.
Warga kawasan Tanjung Datuk, lainnya, Supriyandi, mengatakan, hutan yang ada di wilayah itu banyak keanekaragaman hayati.
“Kalau hutan di sini masih banyak ditemui burung, tupai hutan dan masih banyak lagi,” ujarnya.
Keindahan pantai di kawasan Tanjung Datuk terlihat eksotik. Tak jarang turis domestik maupun mancanegara datang ke sana. Di sana Anda bisa melihat secara jelas penyu-penyu dari atas permukaan laut.
“Itu ada penyu muncul bang. Banyak penyu di sini. Orang Malaysia biasa ke sini,” tuturnya beberapa saat menunjukan penyu.
Mahyan (39), warga kawasan Tanjung Datuk, lainnya mengaku takut saat melaut. “Saya bisa melaut pakai perahu kecil. Sudah lama ini jadi nelayan. Memang tempatnya ikan di sana. Ya takut lah sekarang melaut. Selalu diusir,” keluhnya, yang mengaku penghasilannya menurun drastis.
Ia berharap pemerintah secepatnya menyelesaikan permasalahan sengketa tapal batas tersebut. Sebab, jika dibiarkan terus menerus akan meresahkan warga setempat.
“Kenapa nggak dari dulu dijaga wilayah ini? Kenapa pas ada masalah aja dijaga? Kalau Malaysia sering mengadakan patroli di wilayah tapal batas perairan mereka,” tuturnya yang mengaku heran.
Lain hanya Roni. Pria berusia 30 tahun ini mengaku setiap harinya bekerja di Malaysia. “Saya bekerja di Malaysia sudah lama di kebun karet milik warga Malaysia, Teluk Melano. Upahnya 30 RM satu hari dibayar oleh mereka. Saya nggak perlu lapor, tinggal masuk aja ke Malaysia. Dan memang sudah biasa begitu,” pungkasnya. (Raden AMP/Ars)