Liputan6.com, Jakarta Sejak lama akrab dengan geladak kapal, gelombang tinggi, dan navigasi yang hanya mengandalkan matahari, Tana Beru adalah Butta Panrita Lopi, yaitu kawasan yang banyak dihuni oleh para pelaut dan pembuat perahu yang tangguh. Hidup dan berkembang di dalam tradisi bangsa maritim, Tana Beru menjadi pusat pembuatan Perahu Pinisi di Indonesia.
Masyarakat Tana Beru yang berada di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menggunakan kayu besi sebagai bahan utama pembuatan Pinisi. Dengan mesin potong dan perkakas lainnya, dua tiang utama didirikan untuk menyangga tujuh layar yang digunakan sebagai pendorong gelak laju.
Menurut Zulfikar, salah seorang pekerja pembuatan Pinisi, saat ditemui Tim Liputan6.com, yang ditulis pada Rabu (10/6/2015) mengungkapkan, secara umum bagian Pinisi terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian atas, bagian utama, dan bagian bawah. Bagian atas merupakan tempat bagi terkembangnya layar, sedangkan bagian utama terdiri dari ruang kemudi dan kamar tidur, sementara bagian bawah terlapisi fiber untuk menahan derasnya arus laut.
Advertisement
Pinisi jenis tradisional ini dikenal dengan nama Palari. Ciri khas dari Pinisi Palari terletak pada bentuk lunasnya yang melengkung, dan masih menggunakan layar sekuner sebagai pendorong gerak laju Pinisi. Meski demikian, seiring berkembangnya peradaban, di tana beru juga diproduksi Pinisi jennis Lambo, yang sudah menggunakan motor diesel sebagai pendorongnya.
Memiliki ukuran panjang mencapai 20 meter, Pinisi diperkirakan mampu mengangkat beban seberat hingga 30 ton. Tak heran, sejak zaman kedinastian di Nusantara, Pinisi kerap digunakan sebagai moda transportasi, selain juga digunakan dalam berbagai ekspedisi perdagangan.
Untuk membuat Pinisi jenis Lambo misalnya dibutuhkan sekitar 20 orang. Lamanya pengerjaan tidak menentu, namun dapat dipastikan pembuatan Pinisi selalu menghabiskan waktu yang lama. Mulai dari proses persiapan hingga penyelesaian, bisa menghabiskan waktu sekitar 1 tahun pengerjaan. Tak pelak harga satu Pinisi bisa mencapai angka Rp 2 miliar, yang sebagian besar dipesan oleh taipan asing.
Tana Beru yang menjadi saksi perkembangan kemajuan teknologi maritim di Nusantara kini makin tak berbekas di hati masyarakat Indonesia. Bahkan saat didengungkannya Deklarasi Juanda tertanggal 13 Desember 1957, yang menjadikan Indonesia sebagai poros diplomasi maritim dunia, justeru pengadaan armada lautnya sangat bergantung produk impor.
Lebih dari itu, Riza Damanik, sebagai Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pernah mengungkapkan kepada media, meski Indonesia dikenal sebagai produsen ikan terbesar kedua di dunia, pemenuhan akan protein masyarakatnya masih mendapat kendala besar, bahkan termasuk mereka yang tinggal di pesisir, seperti kawasan Tana Beru misalnya. (ibo/igw)