Belanja Online Jadi Gaya Hidup, Siapa Untung?

Akhir tahun 2018, para pelanggan Indonesia dimanjakan dengan hadirnya momen tanggal cantik yang identik dengan hari gelaran diskon.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 20 Des 2018, 19:00 WIB
Diterbitkan 20 Des 2018, 19:00 WIB
Harbolnas
Belanja online di Harbolnas 2018. (iStockPhoto/Henry)

Liputan6.com, Jakarta - Akhir tahun 2018, para pelanggan Indonesia dimanjakan dengan hadirnya momen tanggal cantik yang identik dengan hari gelaran diskon. Sebut saja 10.10, 11.11 dan yang terakhir 12.12. Hampir seluruh pelaku industri e-commerce ikut serta memeriahkan gempita potongan harga di semua kategori mulai dari kebutuhan sehari-hari/groceries; barang elektronik, ponsel hingga fashion, mainan anak dan kebutuhan bayi, serta otomotif.

Perilaku belanja online boleh dikata mencapai puncak adopsinya dalam tahun 2018 ini, setelah digadang-gadang penyelenggarannya sejak 2012 silam. Tak kurang dari 6,8 triliun rupiah taksiran total transaksi yang dibukukan selama periode hari belanja online nasional tahun ini (naik 2,1 triliun dibanding tahun 2017 berdasarkan Nielsen Indonesia).

Siapa yang diuntungkan dari riuh-rendahnya festival belanja yang menarik perhatian publik ini? Tentu saja para pelanggan itu sendiri. Puluhan juta orang bersiaga di depan layar desktop maupun ponselnya demi berburu besaran diskon yang menggiurkan- bahkan diklaim bisa mencapai 90%.

Hasilnya, puluhan juta pesanan sukses dibukukan para pemain e-commerce besar: JD.ID, Tokopedia, Lazada, Shoppe, BliBli dan para pemain lainnya. Jumlah pesanan yang rata-rata mengalami peningkatan hingga puluhan hingga ratusan kali lipat dari hari normal membuat keadaan yang meriah menjadi harap-harap cemas karena barang pesanan tak kunjung tiba.

Para pembeli mulai resah mencari tahu kemana pesanan mereka, kapan sampainya, mengapa lama sekali dari biasanya? Para pelaku pun berjibaku berusaha terbaik mengantarkan seluruh pesanan yang jumlahnya ratusan ribu per hari dengan penambahan armada, penambahan personel, bahkan para kurir dan gudang pun harus bersiaga selama 24 jam penuh untuk tetap memenuhi ekspektasi seluruh pelanggan yang menuntut pesanan harus sampai menjelang libur tutup tahun ini.

“Tim kami bekerja siang-malam hampir 24 jam sehari untuk memastikan pesanan dapat diterima oleh pelanggan dengan segera, tapi nampaknya itupun tidak cukup dan masih terkendala dari jumlah pesanan yang kenaikannya beratus kali lipat. Kami mohon pengertian dari para pelanggan, tidak perlu kuatir karena barang yang telah dipesan pasti akan kami antar, memang butuh waktu karena harus dipastikan semua barang pesanan tersebut sesuai pesanan dan diantar dalam keadaan baik,” ujar Mia Fauzia Head of Marketing JD.ID saat ditanya soal penanganan pesanan paska harbolnas kemarin.

Sisi logistik selalu menjadi tantangan di Indonesia yang berbentuk kepulauan karena pesanan bisa saja datang dari manapun, dari Sabang hingga Papua. Persiapan maksimal pastinya sudah dilakukan, lalu di mana salahnya?

“Tentunya persiapan meledaknya pesanan sudah diantisipasi sejak jauh-jauh hari sebelum festival belanja digelar, tapi pada realitasnya, tetap saja banyak faktor yang di luar kendali- jutaan pesanan berhasil dibukukan. Ini membuktikan adopsi dan kesadaran orang untuk berbelanja di e-commerce cukup tinggi, bahkan saat ini telah menjadi gaya hidup sehari-hari. Bagi sebagian orang ini memang terlihat sederhana, yaitu hanya mengantarkan barang saja, tapi sebenarnya ini seperti menjaga kepercayaan pelanggan, kami harus memastikan semuanya dapat diantarkan dengan baik ke tangan pelanggan,” tambah Mia.

Logistik Jadi PR Serius

Dengan bentuk negara kepulauan yang terbentang sepanjang lebih dari 13 ribu kilometer dari ujung barat ke timur, bukanlah mudah bagi para pelaku industri logistik tanah air untuk tumbuh dan memberikan layanan terbaik. Pada medio Agustus 2018 lalu, Bank Dunia atau World Bank membeberkan sejumlah tantangan untuk Indonesia ke depannya menyusul naiknya Logistics Performance Index (LPI) 2018 ke urutan 46 dengan skor 3,15, atau naik 17 peringkat dari dua tahun sebelumnya yang berada diposisi ke-63 dengan skor 2,98 se-dunia.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai industri logistik menghadapi sejumlah tantangan di era Revolusi Industri 4.0. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, industri logistik diharapkan bisa memanfaatkan hal tersebut agar bisnisnya tetap bisa bertahan.

Dengan suksesnya penetrasi platform e-commerce menjadi gaya hidup di Indonesia melalui berbagai festival belanja, aspek logistik menjadi faktor kunci pendukung bertumbuh kembangnya skala industri e-commerce yang memang sedang mengalami puncak pertumbuhan sepanjang 2018 ini.

“Di Jabodetabek, kami memiliki lebih dari 35 drop point dimana barang dari gudang disalurkan melalui drop point yang kemudian dijemput oleh para kurir kami yang langsung membawa pesanan ke tangan pelanggan. Selama Harbolnas ini kami mengaktifkan seluruh titik pengepul kami selama 24 jam. Ini wujud komitmen kami kepada pelanggan, mohon maaf kalau masih belum memenuhi ekspektasi,” ujar Teddy Arifianto Head of Corporate Communications dan Public Affairs JD.ID.

Dari pantauan di media sosial, banyak pelanggan yang mengeluhkan pesanan mereka yang belum datang, belum mendapat kepastian kapan akan diantarkan. Dan ini terjadi hampir di seluruh e-commerce di Indonesia. Bisa jadi ini disebabkan kurangnya informasi dan edukasi dari sisi pelanggan yang biasa berbelanja luring, yaitu setelah berbelanja langsung bisa membawa barang pilihannya.

Melonjaknya lalu lintas pesanan barang di semua e-commerce di hari-hari istimewa seperti 11.11, dan 12.12 kemarin disinyalir menjadi penyebab ketidaksesuaian antara ekspektasi pelanggan dan waktu antar yang dijanjikan. Perlu dipikirkan ke depannya mengenai utilitas teknologi dan yang tak kalah penting adalah pemahaman pelanggan mengenai proses di balik industri logistik mulai dari pesanan diterima hingga pengantaran barang ke tangan pelanggan.

Aulia E. Marinto, mantan Ketua Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) pada Agustus 2017 lalu pernah mengatakan untuk meningkatkan ketepatan waktu pengiriman, diperlukan kerjasama dan integrasi dari pengelola transportasi, penyedia jasa angkutan, dan pihak terkait. Semuanya itu menjadi pekerjaaan rumah yang diperlukan untuk membuat Indonesia menjadi salah satu kekuatan e-commerce di kawasan Asia Pasifik. Indonesia ditaksir memiliki potensi ekonomi berbasis elektronik sebesar US$130 miliar sampai 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya