Bidang Startup Harus Punya Modal Sosial yang Kuat

Bisnis startup memiliki celah kegagalan cukup besar serta berpotensi menyebabkan bubble ekonomi.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Nov 2019, 16:47 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2019, 16:47 WIB
Start-Up
Start-Up. foto: istimewa

Liputan6.com, Jakarta - Ada kabar mengejutkan datang dari dunia bisnis digital yang selama ini dianggap sebagai lokomotif ekonomi terdepan dalam era industri 4.0. Perusahaan start-up WeWork dengan bisnis utama berbagi ruang kerja dikabarkan terancam bangkrut dan akan PHK 4.000 karyawannya.

Sebagaimana diberitakan oleh New York Times, tidak kurang dari 1,25 miliar dolar AS adalah kerugian yang diderita oleh WeWork yang telah menyandang predikat Decacorn dengan nilai valuasi lebih dari 10 miliar dolar AS.

Bak jatuh tertimpa tangga, penderitaan WeWork pun bertambah dengan terjun bebasnya nilai valuasi perusahaan start-up yang berbasis di New York, AS tersebut, yang semula mencapai 50 miliar dolas AS menjadi hanya kurang dari 5 miliar dolar AS.

Kejutan belum selesai, Softbank Group raksasa investasi dari Jepang juga sebagai investor utama dari WeWork dan Uber menyatakan bahwa merugi sampai Rp.100 Triliun akibat anjloknya nilai valuasi Uber dan WeWork.

Selain menderita kerugian mencapai 5 miliar dolar AS, Uber sang pionir taksi online berpredikat Hectocorn itupun mengalami terjun bebasnya nilai valuasi menjadi kurang dari 50 miliar AS di kuartal II tahun 2019. "Ada masalah dengan penilaian saya, itu yang harus direnungkan," kata Masayoshi Son, CEO Softbank Group mengutip Bloomberg, Rabu (6/11/2019).

Mendapati kenyataan prahara yang menimpa WeWork dan Uber membuat publik kaget dan seakan tak percaya bahwa Sang Legenda Uber masih merugi. Uber, pionir taksi online sejak 10 tahun lalu serta telah beroperasi di 785 kota metropolitan dan 173 negara, nilai valuasinya terjun bebas sedemikian drastis.

Bahkan pertanyaan merembet lebih jauh, Uber saja bisa rontok, bagaimana dengan Gojek? WeWork saja bisa tumbang, bagaimana Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan OVO?

Valuasi Berlebihan dan Selalu Bakar Uang

Menanggapi fenomena tersebut, Direktur Generasi Optimis Research and Consulting (GORC), Frans Meroga Panggabean mengatakan bisnis start-up memiliki celah kegagalan cukup besar serta berpotensi menyebabkan bubble ekonomi. "Dalam pandangan saya, fenomena gelembung spekulatif dalam bisnis start-up ini mulai muncul. Tinggal tunggu gelembungnya meletus," kata Frans membuka pembicaraan, Jakarta, Senin (25/11/2019).

Lulusan MBA dari Grenoble Universite, Perancis itu menambahkan, "Coba kita perhatikan, Forbes pernah merilis angka kegagalan dalam bisnis start-up itu mencapai 90 persen. Masalahnya sekarang start-up punya citra sebagai 'satu-satunya' bisnis yang sedang berkembang dan populer, tanpa melihat potensi kegagalannya yang besar. Saya menduga akan terjadi start-up bussiness bubbles, tapi semoga saya keliru," ujar Frans Meroga lagi.

Dalam riset Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) terungkap bahwa gejala latah bisnis digital kali ini hampir sama seperti yang terjadi pada tahun 2000. Kala itu muncul fenomena yaitu banyak perusahaan internet yang sempat mempunyai nilai triliunan berakhir gagal tanpa nilai sama sekali. Fenomena ini dikenal dengan internet bubble. Pets.com bangkrut, diikuti dengan Boo.com, Webvan, hingga semua saham perusahaan internet turun 75 persen.

Para pemodal ventura sangat mudah memberikan pendanaan saat itu. Sebab, mereka berharap bisa segera balik modal begitu perusahaan itu IPO dan mendapat nilai tinggi. Dengan derasnya kucuran uang, startup internet ini berlomba untuk menjadi besar dengan instan. Mereka banyak boros untuk promosi, bahkan 90% anggaran dipakai untuk iklan agar bisa segera dikenal. Mereka juga rajin bakar uang menawarkan layanan gratis atau promo diskon dengan harapan bisa segera meraup pasar.

Start-Up
Start-Up. foto: istimewa

Akhirnya Gelembung Pecah

Tingginya antusiasme investor yang sembarang menempatkan uang mereka, membuat para perusahaan internet punya nilai pasar di atas nilai riil mereka. Persaingan para investor dan spekulasi, mendorong investor membayar saham perusahaan internet jauh lebih tinggi lagi dari nilai fundamental mereka. Contoh Amazon dengan saham perdana dijual US$18 dan berakhir dengan nilai US$100. Perbedaan harga ini yang membuat adanya bubble dan persaingan lah yang membuat semakin besar dan akhirnya meledak.

Di Indonesia, Frans menilai kecenderungan penilaian valuasi berlebih bisa terjadi. Karena berdasarkan pengamatannya di lapangan, hingga saat ini belum ada penelitian khusus mengenai valuasi startup. "Sederhananya kan nilai valuasi itu artinya sebuah nilai maksimal yang menarik bagi investor sehingga mau mengeluarkan uang untuk membeli saham atau investasi dalam sebuah perusahaan, di mana pastinya berharap segera menikmati keuntungan," jelas Direktur Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) ini lagi.

"Nah sekarang kalau Gojek yang berpredikat Decacorn mengklaim bernilai valuasi US$ 10 Miliar atau Rp.140 Triliun, artinya akan ada investor yang berani berinvestasi di Gojek seharga maksimal Rp.140 Triliun lalu juga investor tersebut akan mendapatkan untung dari Rp.140 Triliun yang dikeluarkan bila berinvestasi di Gojek," terang Frans yang dikenal sebagai Pakar Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi Milenial.

"Pertanyaan besarnya sekarang apakah itu masuk akal? Apakah klaim nilai valuasi tersebut dapat dijelaskan secara detil? Mari kita analisa sekarang," tegas Frans lagi.

Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) melakukan analisa bahwa saat ini Gojek memiliki sekitar 150 juta orang pelanggan dengan total 2 juta orang mitra driver. Penjelasan masuk akal nilai valuasi Gojek sebesar Rp.140 Triliun berarti dianggap setiap pelanggan memberi keuntungan Rp. 1 juta kepada Gojek dalam 1 tahun. Dengan asumsi Gojek mendapat keuntungan 10% dari setiap transaksi berarti Gojek harus membukukan omzet Rp.1.400 Triliun dalam 1 tahun. Sedangkan kita ketahui bersama total APBN Indonesia adalah Rp.2.000 Triliun lebih.

"Tidak masuk akal lah jumlah transaksi atau uang yang beredar dalam bisnis Gojek sampai sebesar 70% dari APBN," kritik Frans. "Itu belum kita hitung yang mereka lakukan promo-promo, diskon-diskon, dan bakar uang lainnya dalam bentuk iklan, reklame, dan event," masih jelas Frans. "Belum lagi kalau kita hitung alokasi keuntungannya karena pastinya investor ingin untung dari nilai investasinya." Frans masih mengkritik.

Modal Sosial Harus Solid Terlebih Dahulu

Generasi Optimis Research & Consulting berkesimpulan bahwa penilaian valuasi bisnis start-up yang melebihi potensi riil karena bisnis start-up tidak mempunyai modal sosial yang kuat dalam ekosistem bisnisnya. Strategi bakar uang akan terus dilakukan demi tetap eksis dalam persaingan karena pasar hanya loyal terhadap harga dan promo serta diskon. Itu akan selalu menjadi "lingkaran setan" yang tidak ada habisnya jika sebuah start-up baru berusaha masuk dalam suatu market.

Strategi yang benar adalah seharusnya bangun modal sosial yang kuat terlebih dahulu dalam sebuah ekosistem dan bahkan libatkan semua stakeholder dalam ekosistem tersebut untuk berkomitmen membesarkan usaha yang ada untuk kesejahteraan bersama. Jadi dukungan aplikasi digital hanyalah sebagai enabler dan akselerator setelah modal sosial tertanam dengan kuat antar semua pemangku kepentingan.

"Jadi jangan terbalik, seharusnya aplikasi digital baru dipakai sebagai kemasan untuk membantu dan mempercepat pencapaian tujuan usaha setelah hubungan antar semua peran dalam rantai pasok sudah terjalin dengan solid," jelas VP Nasari Cooperative Group, Frans Meroga Panggabean ini lagi.

Bagi Frans, koperasi merupakan jenis badan usaha yang tepat untuk menaungi bisnis generasi milenial saat ini. Dengan prinsip bahwa koperasi adalah kumpulan orang, akan sangat berbeda dengan prinsip koorporasi. Dalam koperasi berlaku prinsip One Man One Vote, bukan One Share One Vote seperti koorporasi. Kaidah itu akan selalu mempererat hubungan antar anggota dan selalu membudayakan musyawarah untuk mufakat yang pastinya otomatis memperkuat modal sosial dalam ekosistem usaha yang digeluti.

"Lagipula dengan sifat-sifat kesetaraan dan egaliter serta ekonomi berbagi yang selalu dikedepankan koperasi, cocok sekali dengan generasi muda sekarang. Itu kan milenial banget," tambah Frans yang juga Tim Penulis "The Ma'ruf Amin Way" ini lagi.

Dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 1998 tentang modal penyertaan dalam koperasi pun, apabila bisnis start-up berbentuk koperasi tetap dapat lincah dan tangkas untuk mengakses modal. Modal dari para investor akan dapat diakses tanpa harus khawatir akan mendelusi keberadaan para pendiri. Di sisi lain, badan hukum koperasi juga menjamin tata kelola yang lebih setara antara satu dengan beberapa pendiri lainnya. Pengambilan keputusan didorong melalui mekanisme musyawarah mufakat. Bila harus voting sekalipun, jumlah saham tak akan menjadi pertimbangan.

Start-Up
Start-Up. foto: istimewa

Berkoperasi Itu Keren

"Kurang keren bagaimana lagi coba kalau semua bisnis start-up digital berbentuk koperasi. Pertama, dengan tata kelola musyawarah untuk mufakat akan memastikan modal sosial akan lebih solid terbentuk," himbau Frans.

"Kedua, secara regulasi koperasi dimungkinkan untuk mengakses permodalan dengan mekanisme modal penyertaan atau dapat mengakses pembiayaan dengan menerbitkan Surat Utang Koperasi (SUK)," tambah Frans.

"Ketiga bahkan yang paling keren, dengan prinsip One Man One Vote, para pendiri tidak perlu khawatir usahanya akan dicaplok pemodal besar," urai Frans Meroga, Pakar Ekonomi Kerakyatan dan Koperasi Milenial ini lagi penuh semangat.

Merangkum itu semua, Generasi Optimis Research & Consulting (GORC) mendorong pemerintah dengan dimotori Kementerian Koperasi & UKM untuk mengkampanyekan Gerakan Nasional agar semua masyarakat termasuk generasi milenial mengenal dan familiar dengan koperasi.

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki diminta menggelorakan Gerakan Nasional ini yang bertujuan memasyarakatkan koperasi dan menumbuhkan minat dan cinta masyarakat untuk berkoperasi. Generasi milenial diharapkan mengenal lebih jauh koperasi, tidak hanya sekedar dianggap ketinggalan jaman dan tidak profesional.

"Nama gerakan ini boleh kita namakan "Berkoperasi Itu Keren". Diharapkan generasi milenial teredukasi bahwa koperasi dan UKM lah tulang punggung ekonomi bangsa sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945. Koperasi pulalah yang telah beberapa kali terbukti menjadi pilar penyelamat menghadapi krisis multi dimensi yang menerpa Indonesia," ujar Frans Meroga.

Frans melihat mendesak pula harus adanya payung hukum guna harmonisasi aturan lintas sektoral antar kementerian. Untuk keberhasilan Gerakan Nasional "Berkoperasi Itu Keren" ini dibutuhkan sedikitnya keterlibatan 3 kementerian, Kementerian Koperasi & UKM, lalu Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa & PDTT.

"Kami dorong segera dirumuskan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pak Teten sebagai Menkop, Pak Tito sebagai Mendagri, serta Pak Halim sebagai Menteri Desa untuk memastikan Gerakan Nasional ini berhasil sesuai dengan harapan," pungkas Frans Meroga.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya