Liputan6.com, Jakarta - Lebaran Idul Fitri identik dengan ketupat yang telah menjadi simbol tradisi. Bukan sekadar sajian yang dihidangkan di meja makan, ternyata ketupat dalam di momen lebaran memiliki filosofi yang mendasarinya.
Mengutip dari laman Nahdatul Ulama, Sabtu (22/4/20023), kata "ketupat" atau "kupat" berasal dari istilah bahasa Jawa yaitu "ngaku lepat" yang artinya mengakui kesalahan dan laku papat, yaitu empat tindakan. Istilah ini begitu erat dengan kebiasaan masyarakat ketika lebaran untuk saling bermaaf-maafan.
Baca Juga
Selain itu prosesi ngaku lepat umumnya diimplementasikan lewat tradisi sungkeman di mana seorang anak bersimpuh dan memohon maaf di hadapan orangtuanya. Tradisi itu mengajak kita untuk memahami arti pentingnya menghormati orangtua, tidak angkuh dan tidak sombong kepada mereka serta senantiasa mengharap ridha dan bimbinganya.
Advertisement
Kebiasaan ini juga menjadi sebuah bukti cinta dan kasih sayang seorang anak kepada orangtuanya begitu pun orangtua kepada anaknya. Prosesi ngaku lepat pun tidak hanya berkutat pada tradisi sungkeman seorang anak kepada orangtua. Lebih jauh lagi memohon maaf kepada tetangga, kerabat dekat maupun jauh hingga masyarakat Muslim lainnya.
Makna ketupat ini tentu menuntun umat Islam untuk mau mengakui kesalahan dan saling memaafkan dengan penuh keikhlasan yang disimbolkan dengan ketupat. Ketupat menjadi simbol "maaf" bagi masyarakat Jawa, yaitu saat seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya nantinya mereka akan disuguhkan ketupat dan diminta untuk memakannya, jika ketupat tersebut dimakan secara otomatis pintu maaf telah dibuka dan segala salah dan khilaf antara keduanya terhapus.
Terdapat Pesan Moral dari Ketupat
Untuk istilah laku papat yang berarti empat tindakan, masyarakat Jawa mengartikanya dengan empat istilah, antara lain lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti akhir dan usai yang menandakan telah berakhirnya waktu puasa Ramadhan dan siap menyongsong hari kemenangan.
Sedangkan Luberan bermakna meluber atau melimpah, layaknya air yang tumpah dan meluber dari bak air. Pesan moral yang hendak disampaikan dari luberan yaitu budaya mau berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang lebih (luber) kepada fakir miskin, dengan begitu akan membahagiakan para fakir miskin dan diharapkan angka mengikis angka kemiskinan yang ada.
Leburan berarti habis dan melebur yakni momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain, dengan kata lain dosa dengan sesama dimulai dari nol lagi. Terakhir adalah Laburan yang berasal dari kata labur atau kapur, zat padat berwarna putih yang juga bisa menjernihkan zat cair, dari ini Laburan dipahami bahwa hati seorang muslim haruslah kembali jernih nan putih layaknya sebuah kapur.
Advertisement
Simbol Kejernihan dan Kesucian Hati
Karena itu merupakan simbol kejernihan dan kesucian hati yang sebenarnya. Demikian pesan moral yang hendak disampaikan Lebaran ketupat kepada umat Islam, yang semuanya diyakini merupakan tuntunan yang luhur untuk bagaimana menjadi pribadi yang baik dan luhur di kemudian hari.
Mengutip dari kanal Islami, Sabtu (22/4/2023), H. J. de Graaf pernah menulis tentang ketupat ini dalam catatan bertajuk Malay Annual. Dituliskan ketupat pertama kali dikenalkan oleh Raden Mas Sahid alias Sunan Kalijaga.
Mulanya ketupat tidak disajikan pada hari pertama Lebaran Idul Fitri. Ketika itu menu ketupat disajikan pertama kali dalam sebuah acara perayaan yang dilaksanakan setiap tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Jadi semacam perayaan setelah sukses lewat enam hari puasa Syawal.
Kini momen tersebut di Jawa Tengah dan mungkin di daerah lain dikenal menjadi lebaran ketupat. Lantaran masih menjadi menu istimewa, masyarakat sering tidak sabar menunggu selesai puasa Syawal. Itulah sebabnya dalam perkembangannya ketupat tersaji sejak hari pertama Lebaran Idul Fitri.
Pertama Kali Dikenalkan Sunan Kalijaga
Mengapa Sunan Kalijaga memilih selongsong ketupat dari janur? Saat itu, sekitar abad 15, kondisi geografis Demak yang berada di pesisir didominasi pohon kelapa. Memilih janur sebagai selongsong dimaksudkan sebagai identitas lokal yang mudah diterima masyarakat.
Di budaya kultur Jawa, sampai sekarang masih hidup mitologi yang berhubungan dengan hasil pertanian. Yaitu Dewi Sri menjadi Dewi yang mengurus soal ini dan kesuburan bumi.
Keberadaan ketupat dalam bentuk yang sekarang merupakan adaptasi dari ketupat sompil atau ketupat kecil bentuknya sederhana dan hanya sebesar ibu jari kaki saja. Ketupat sompil ini biasa disajikan ketika upacara wiwit atau memulai panen padi, jadi salah satu syarat sesajen menghormati Dewi Sri.
Budayawan Darmanto Jatman (alm) pernah bercerita bahwa keberadaan ketupat semacam simbol auto kritik dan sportivitas. "Ketupat itu dalam bahasa Jawa disebut Kupat. Ini bermakna Laku Papat dan Ngaku Lepat," sebut Darmanto Jatman pada sebuah obrolan santai dengan penulis, sekitar beberapa tahun lalu.
Makan awal ngaku Lepat adalah mengakui kesalahan. Entah disengaja atau tidak disengaja. Maka ketika mengakui kesalahan sebaiknya dilakukan sambil mengingat dan jika perlu menyampaikan apa kesalahannya.
Advertisement