Mantan Ibu Negara Prancis Terseret Kasus Dugaan Korupsi Suami, Terlibat Upaya Memanipulasi Saksi

Carla Bruni, mantan ibu negara Prancis, diduga mengetahui skandal dana kampanye ilegal yang dilakukan suaminya, Nicolas Sarkozy, dan melibatkan Muammar Khadafi.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 10 Jul 2024, 20:30 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2024, 20:30 WIB
Mantan Ibu Negara Prancis Terseret Kasus Dugaan Korupsi Suami, Statusnya Jadi Tersangka
Carla Bruni, model legendaris Prancis didakwa terlibat dalam kasus dugaan korupsi yang dilakukan suaminya, mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. (dok. JULIEN DE ROSA / AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan ibu negara Prancis, Carla Bruni-Sarkozy, dijadikan tersangka pada Selasa, 9 Juli 2024, terkait skandal dana kampanye suaminya, mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy yang terjadi pada 2007. Dana kampanye itu disebut berasal dari mendiang pemimpin Libya Muammar Khadafi.

Menurut AFP, supermodel itu dijerat hukum karena menyembunyikan bukti dan berhubungan dengan pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan. Dia ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan dan dilarang untuk mengontak seluruh orang yang terlibat dalam kasus tersebut kecuali suaminya.

Mengutip BBC, Rabu (10/7/2024), di antara pelanggaran hukum yang dilakukannya, Carla Bruni diduga menyembunyikan upaya memanipulasi saksi dan terlibat dalam usaha menyuap aparat hukum Lebanon. Pengacaranya mengatakan bahwa kliennya memutuskan untuk untuk memperjuangkan haknya dan menentang "keputusan tidak berdasar".

Sarkozy, yang menjabat sebagai Presiden Prancis pada 2007 hingga 2012, akan diadili tahun depan atas tuduhan bahwa ia mengambil uang dari Gaddafi untuk membiayai keberhasilannya dalam pemilu. Dia dituduh melakukan korupsi, pendanaan kampanye ilegal, mengambil keuntungan dari penggelapan dana publik dan keanggotaan dalam konspirasi kriminal.

Sarkozy selalu membantah semua tuduhan tersebut. Penyelidikan atas tuduhan tersebut dimulai pada 2013, dua tahun setelah Saif al-Islam, putra pemimpin Gaddafi, pertama kali menuduh Sarkozy mengambil jutaan uang ayahnya untuk dana kampanye.

Tahun berikutnya, pengusaha Lebanon Ziad Takieddine, yang telah lama bertindak sebagai perantara antara Prancis dan Timur Tengah, mendukung klaim tersebut. Dia mengatakan kepada hakim bahwa dia memiliki bukti tertulis bahwa upaya kampanye Sarkozy dibiayai oleh Tripoli, dan pembayaran senilai 50 juta euro (sekitar Rp877 miliar) berlanjut setelah dia menjadi presiden.

 

Saksi Kunci Ubah Pernyataan Drastis

Didit Hediprasetyo
Karya Didit Hediprasetyo dikenakan oleh Carla Bruni Mantan Istri Presiden Prancis. (Foto: Instagram/ Didit Hediprasetyo)

Bertahun-tahun kemudian, Takieddine mengatakan kepada media Prancis bahwa pada 2006--2007, dia secara pribadi menyerahkan koper berisi uang kertas kepada Sarkozy dan kepala stafnya, Claude Guéant, yang kemudian membantahnya. Namun pada 2020, Takieddine tiba-tiba mencabut pernyataannya tentang penyerahan uang dalam jumlah besar.

Hal itu menimbulkan kecurigaan bahwa Sarkozy dan sekutunya, termasuk istrinya, mungkin telah membayarnya untuk berubah pikiran. Pada Juni 2021, Bruni-Sarkozy ketahuan telah menghapus pesan yang dipertukarkan dengan seorang pengusaha wanita Prancis Michele Marchand yang diinterogasi polisi atas tuduhan memanipulasi saksi.

Bruni sudah ditanyai penyidik dua kali. Pertama sebagai saksi pada Juni 2023, dan kemudian sebagai tersangka pada awal Mei 2024.

Sejak kekalahannya dalam pemilu melawan sosialis François Hollande pada 2012, Sarkozy beberapa kali diinvestigasi polisi atas berbagai tindak kriminal. Pada 2023, ia dijatuhi hukuman percobaan penjara karena mencoba menyuap seorang hakim, dan awal tahun ini, ia dinyatakan bersalah karena mendanai kampanye pemilihannya kembali pada 2012 secara ilegal.

Dia dan Carla Bruni, mantan supermodel dan penyanyi kelahiran Italia, menikah pada 2008. Mereka memiliki seorang putri, Giulia, pada 2011.

Situasi Politik Prancis Tak Keruan

FOTO: Usai Bertemu Putin, Emmanuel Macron Temui Presiden Ukraina
Presiden Prancis Emmanuel Macron memberi isyarat saat konferensi pers bersama Presiden Ukraina setelah pertemuan mereka di Kyiv, Ukraina, 8 Februari 2022. Volodymyr Zelensky berharap segera mengadakan pertemuan puncak dengan pemimpin Rusia, Prancis, dan Jerman. (Sergei SUPINSKY/AFP)

Sementara itu, Presiden Emmanuel Macron pada Senin, 8 Juli 2024, menolak pengunduran diri Perdana Menteri Prancis Gabriel Attal dan memintanya untuk bertahan sementara sebagai kepala pemerintahan. Macron, yang baru menunjuknya tujuh bulan lalu, memintanya untuk tetap menjabat demi menjamin stabilitas negara. Demikian seperti dilansir kantor berita AP, Selasa, 9 Juli 2024.

Para pemilih membagi badan legislatif menjadi kelompok kiri, tengah, dan paling kanan, sehingga tidak ada faksi yang mendekati mayoritas yang dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan. Hasil pemungutan suara pada Minggu, 7 Juli 2024, meningkatkan risiko kelumpuhan bagi negara dengan perekonomian terbesar kedua di Uni Eropa tersebut.

Macron semula bertaruh bahwa keputusannya untuk mengadakan pemilu dini akan memberikan Prancis "momen klarifikasi", namun hasilnya menunjukkan sebaliknya. Hasil pemilu yang kacau membuat pemerintah berada dalam ketidakpastian. Sekutu politik utama Macron bergabung dalam pertemuan dengan Attal di istana presiden, yang berlangsung sekitar 90 menit.

Diskusi Sengit soal Pemerintahan Baru

Gabriel Attal (Kiri) yang kini jadi PM termuda Prancis mempunyai tugas memimpin pemerintah menuju pemilihan Parlemen Eropa pada Juni 2024. (Lidovic Marin/AFP/Pool)
Gabriel Attal (Kiri) yang kini jadi PM termuda Prancis mempunyai tugas memimpin pemerintah menuju pemilihan Parlemen Eropa pada Juni 2024. (Lidovic Marin/AFP/Pool)

Pada Minggu, 7 Juli 2024, Attal menyatakan tidak setuju dengan keputusan Macron yang mengadakan pemilu. Hasil dari dua putaran pemungutan suara tidak memberikan jalan yang jelas untuk membentuk pemerintahan bagi koalisi sayap kiri yang berada di urutan pertama, aliansi Macron yang berhaluan tengah atau sayap kanan.

Para anggota parlemen yang baru terpilih dan menjabat kembali pada Senin berkumpul di Majelis Nasional untuk memulai perundingan mengenai pemerintahan baru. Macron sendiri akan berangkat pertengahan minggu ini untuk menghadiri pertemuan puncak NATO di Washington, Amerika Serikat.

Pembicaraan mengenai siapa yang harus membentuk pemerintahan baru dan siapa yang harus memimpin kementerian luar negeri, dalam negeri, dan keuangan, diperkirakan akan sangat sulit dan memakan waktu lama mengingat partai-partai politik yang menegosiasikan kesepakatan mempunyai kebijakan yang bertentangan dan saling menghina satu sama lain.

"Kita berada dalam situasi yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Jean-Didier Berger, anggota parlemen yang baru terpilih dari Partai Republik yang konservatif.

 

Infografis Ragam Tanggapan Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus-Kampus AS dan Prancis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Ragam Tanggapan Aksi Pro-Palestina Marak di Kampus-Kampus AS dan Prancis. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya