Menkumham: Pembubaran FPI Butuh Kajian Mendalam

Menurutnya, KemenkumHAM hanya bisa merekomendasikan ke Pengadilan Negeri, bukan kewenangan memutuskan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 12 Nov 2014, 12:40 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2014, 12:40 WIB
Ribuan Anggota FPI Tolak Ahok Jadi Gubernur
Selain FPI, massa dari Gerakan Masyarakat Jakarta juga ikut melakukan aksi menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, Senin (10/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna H Laoly mengaku telah menerima surat dari Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama atau Ahok terkait pembubarkan Front Pembela Islam (FPI). Pembubaran FPI, dibutuhkan kajian yang lebih dalam untuk melihat sejauh mana pelanggaran yang dilakukan ormas pimpinan Habib Rizieq itu.

"Kita sudah terima suratnya dan akan segera kita bahas," ujar Yasonna di kantornya, Jakarta, Rabu (12/11/2014).

"Kita tidak bicara dulu main bubarkan atau tidak. Tapi kita akan kaji dulu, karena itu kita bahas ini secara internal apakah memang pantas atau tidak," jelas dia.

Menurut politisi PDIP itu, Kemenkumham hanya bisa merekomendasikan ke Pengadilan Negeri, bukan kewenangan memutuskan. "Kita hanya merekomendasikan, bukan memutuskan," ungkap Yasonna.

Sebelumnya, Ahok mengirimkan surat permohonan pembubaran Front Pembela Islam (FPI) kepada Kementerian Hukum dan HAM, Selasa (11/11/2014) kemarin. Surat tersebut dikirimkan oleh petugas pemerintah Pemprov DKI Jakarta.

Dalam surat bernomor 2513/-072.25 tersebut, Pemprov DKI Jakarta meminta Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly untuk menindaklanjuti permohonan pembubaran FPI bila sudah berbadan hukum. Sebab, berdasarkan Pasal 70 ayat 1 UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat, pembubaran ormas bisa diajukan ke Pengadilan Negeri oleh Kejaksaan. Hanya atas permintaan tertulis dari MenkumHam.

Dalam surat tersebut, Ahok mengatakan FPI sering melakukan tindakan demonstrasi anarkis, membeberkan kebencian dan menghalangi pelantikan Gubernur. Serta menimbulkan kemacetan lalu lintas serta telah melanggar konstitusi.

Padahal, dalam Pasal 59 dalam UU tersebut, aktivitas Ormas diatur untuk tidak: (a) melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan; (b)  melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.

Serta, tidak (c) melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI; (d) melakukan tindakan kekerasan,mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau (e) melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Mut)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya