Korupsi Dermaga Sabang, Eks Kepala BPKS Dituntut Bui 7,5 Tahun

Jaksa menilai Ramadhani terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Dermaga Bongkar Sabang, Aceh.

oleh Oscar Ferri diperbarui 01 Des 2014, 19:41 WIB
Diterbitkan 01 Des 2014, 19:41 WIB
KPK
KPK (Liputan6.com/Miftahul Hayat)

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Deputi Teknik Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) Ramadhani Ismy dijatuhi tuntutan oleh jaksa, berupa hukuman pidana 7,5 tahun penjara atau 7 tahun 6 bulan penjara. Dia juga dituntut denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Menuntut supaya Majelis Hakim menjatuhi hukuman pidana 7 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan," kata Jaksa Fitroh Rochahyanto‎ dalam sidang tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Koruspi (Tipikor), Jakarta, Senin (1/12/2014).

Jaksa menilai Ramadhani terbukti bersalah dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Dermaga Bongkar Sabang, Naggroe Aceh Darussalam pada 2006. Ismy dalam proyek itu menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen atau PPK.

"Menuntut agar Majelis Hakim menyatakan terdakwa Ramadhani Ismy telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar Fitroh.

Selain tuntutan hukuman fisik, jaksa juga menuntut dengan pidana tambahan kepada Ramadhani berupa uang pengganti Rp 3,204 miliar. Dengan ketentuan, apabila dalam 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap tidak dibayar, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.‎ Jika tak mencukupi maka diganti dengan penjara selama 3 tahun.

Jaksa menilai, Ramadhani terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

Rincian Kasus

Dalam kasus proyek pembangunan Dermaga Bongkar Sabang, Jaksa memaparkan, ‎Ramadhani selaku PPK membuat hasil telaah staf yang menyatakan pelelangan dapat dilakukan dengan cara penunjukan langsung. Alasannya, pekerjaan pada 2006 itu merupakan satu kesatuan konstruksi bangunan dengan pekerjaan pada 2004.

Jaksa mengatakan, padahal pekerjaan pembangunan Dermaga Bongkar Sabang tahun 2006 itu bukan merupakan pekerjaan lanjutan. "Dan bukan satu kesatuan konstruksi dari pekerjaan Dermaga Bongkar Sabang tahun 2004," ujar Fitroh.

Kemudian Ismy menetapkan‎ harga perkiraan sendiri atau HPS mengenai pembangunan dermaga tersebut pada 2006, yakni sebesar Rp 8,1 miliar. HPS itu dilakukan tanpa melalui survei daftar harga pasar, melainkan hanya berdasarkan Engineering Estimate atau EE yang dibuat Ananta Sofwan. Di sini Jaksa menilai nilainya sudah digelembungkan alias mark-up.

"Lalu terdakwa meminta panitia melakukan penunjukkan langsung kepada PT Nindya Sejati JO," ucap Jaksa.

Untuk melengkapi persyaratan formal, Ramadhani kemudian membuat dokumen-dokumen terkait proses penunjukan langsung Nindya Sejati JO. Dia juga meminta kepada panitia pengadaan menanda tangani dokumen-dokumen penunjukan langsung.

"Padahal tata cara penunjukan langsung tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya," kata Jaksa.

Selanjutnya pada 16 Juni 2006, Ramadhani menetapkan PT Nindya Sejati JO sebagai pelaksana pekerjaan proyek Dermaga Bongkar Sabang pada 2006. Dalam prosesnya, panitia pengadaan kemudian menetapkan nilai kontrak Rp 8,023 miliar.

Dalam melaksanakan pekerjaan Dermaga Bongkar Sabang pada 2006, PT Nindya Sejati JO mengalihkan pekerjaan utama atau men-subkontrakan pekerjaan pile cap, balok, plat, plat injak dan pasangan batu di bawah plat injak dan pekerjaan tambahan, yaitu pekerjaan persiapan dan pekerjaan pemancangan (trestle) ke CV SAA Inti Karya Teknik.

Meskipun pekerjaan tidak selesai 100%, Ramadhani tetap menerima pekerjaan tahap 1. "Terdakwa juga membuat bea surat terima yang intinya hasil pemeriksaan pekerjaan sudah dikerjakan sesuai ketentuan yang tercantum dalam RKS dan gambar kemajuan pelaksanaan pekerjaan telah mencapai 100%," ujar Jaksa.

Lebih jauh Jaksa memaparkan, bahwa setelahnya Ramadhani mengusulkan pembayaran 100% sebesar Rp 8,412 kepada kuasa pengguna anggaran. Atas usulan tersebut, PT Nindya Sejati JO menerima pembayaran dari BPKS Rp 7,145 miliar.

Adapun, terjadinya penyimpangan pada proyek pada 2006 itu telah merugikan keuangan negara sebanyak Rp 2,912 miliar. Penyimpangan yang modusnya sama juga dilakukan Ramadhani pada proyek 2007-2011.

Akibat penyimpangan pada proyek pada 2004, 2006-2011, Ramadhani dinilai Jaksa telah memperkaya diri sebesar Rp 3,204 miliar. Total kerugian keuangan negara pada proyek yang dikerjakan mulai tahun 2004, 2006-2011 mencapai Rp 313,345 miliar. (Riz)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya