Hukuman Cambuk di Pesantren

Ketiga santri di Pondok Pesantren Al-Urawatul Wutsqo di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur ini menjalani hukuman cambuk.

oleh Liputan6 diperbarui 13 Des 2014, 19:30 WIB
Diterbitkan 13 Des 2014, 19:30 WIB
(lip6 Petang) Barometer Pekan Ini
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jakarta - 3 Santri matanya ditutup kain, tangannya lalu diikat pada sebatang pohon. Ketiga santri di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Urawatul Wutsqo di Desa Bulurejo, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur ini akan menjalani hukuman cambuk.

Hukuman cambuk diberikan oleh pengurus pesantren pada santri yang melakukan pelanggaran berat seperti minum minuman keras dan berzina. Satu per satu ketiga santri menjalani hukuman cambuk menggunakan 2 buah rotan.

Dalam video yang diambil pada 2009 ini masing-masing santri dicambuk sebanyak 35 kali. Saat menjalani hukuman, ketiganya sudah menyatakan bersedia menjalani hukuman.

Pondok Pesantren Al-Urawatul Wutsqo yang dikenal sebagai Pondok Pesantren Salafi berdiri pada 1946. Setelah sempat vakum, pondok pesantren ini mengalami kemajuan pesat dan mempunyai lebih dari 800 orang santri yang sebagian besar berasal dari wilayah Indonesia Timur.

Materi pendidikan di pesantren ini juga cukup lengkap, baik di bidang pendidikan informal maupun formal dari tingkat dasar hingga universitas.

Pengurus pondok pesantren menyatakan hukuman cambuk sudah menjadi tradisi sejak awal Pesantren Al-Urawatul Wustqo didirikan dan masih berlaku hingga saat ini. Pihak ponpes bahkan akan berusaha untuk melegalkan hukuman yang diambil dari hukum syariat Islam ini. Hukuman cambuk menurut mereka diberikan sebagai rasa sayang kepada santri agar tidak mengulangi kesalahannya.

Banyaknya hukuman cambuk yang diberikan kepada santri disesuaikan dengan tingkat kesalahannya. Jika pulang tanpa izin akan dicambuk sebanyak 10 kali, minum-minuman keras sebanyak 35 kali, dan jika santri ketahuan berzina akan dicambuk sebanyak 100 kali. Hukuman tersebut akan dilakukan di depan santri lain. Meski demikian pihak ponpes membantah dianggap beraliran keras.  

Hukuman ini juga berlaku bagi warga sekitar pondok. Salah seorang warga mengaku anaknya pernah menjalin hubungan asmara dengan santriwati dan ketahuan pihak pondok. Setelah dipanggil ke pesantren, anaknya dihukum cambuk.

Bagi santri menjalani hukuman cambuk merupakan bagian dari ibadah. Salah satu santri bahkan sudah meminta untuk menjalani hukuman cambuk agar dosa-dosanya diampuni Allah. Namun ia harus bersabar menunggu antrean untuk menjalani hukuman.

Penerapan hukum cambuk dalam dunia pendidikan dinilai Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnain tidak tepat. Menurut Imam Al Gazhali dalam mendisiplinkan anak hendaknya mengutamakan pendekatan pembinaan bukan dengan hukuman.

Bagaimana sikap Ponpes Al-Urawatul setelah mendapat masukan dari berbagai pihak? Saksikan Barometer Pekan Ini selengkapnya yang ditayangkan Liputan 6 Petang SCTV, Sabtu (13/12/2014), di bawah ini. (Mar/Ans)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya