Syarat KPAI Sebelum Serahkan 5 Anak Terlantar ke Keluarga

Setidaknya butuh waktu 3 bulan untuk memulihkan dampak psikologis anak korban kekerasan.

oleh FX. Richo PramonoAudrey Santoso diperbarui 15 Mei 2015, 18:50 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2015, 18:50 WIB
KPAI
KPAI (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta keluarga dari pasangan suami istri, UP alias T dan NS mengurus kelima anak yang diduga ditelantarkan keduanya di Cibubur, Jawa Barat. Kelima anak itu adalah L (10), C (10), D (8), AL (5), dan DN (4).

"Sekali lagi kami apresiasi jika ada pihak keluarga dari derajat kedua atau derajat ketiga yang mereka memang ingin bertanggung jawab kepada kelima anak ini,"  ujar Sekjen KPAI Erlinda di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (15/5/2015).

Erlinda menjelaskan, maksud dari pihak keluarga derajat kedua adalah bibi dan paman. Sedangkan derajat ketiga yaitu nenek dan kakek. Namun begitu, dia menyatakan, tak akan menyerahkan begitu saja kelima anak tersebut tanpa melakukan investigasi terlebih dahulu.

"Sebelum menyerahkan hak asuh kepada keluarga orangtuanya, KPAI akan menyelidiki dulu latar belakang keluarga dan kondisinya, apakah memungkinkan mengasuh kelima anak ini. Berbahaya atau tidak jika mereka diasuh oleh keluarga tersebut," ucap Erlinda.

Dia mengungkapkan, setidaknya butuh waktu 3 bulan untuk memulihkan dampak psikologis anak-anak korban kekerasan. Namun, kata dia, jika waktu itu dirasa belum cukup menghilangkan trauma anak, KPAI siap mendampingi mereka hingga betul-betul pulih.

"Untuk rehabilitasi kelima anak, kami menerapkan dua pola, yaitu tindakan bermain dan tindakan kembali ke lingkungan. Saat ini sudah diberikan tahapan awal rehabilitasi, kita sudah tempatkan di lingkungan sosial, seperti anak-anak lainnya dan kita kondisikan mereka tidak pernah terjadi apapun," ujar Erlinda.

Alih Hak Asuh

Alih Hak Asuh

Komisioner KPAI Susanto menegaskan tidak mudah bagi seseorang untuk mengambil alih hak asuh anak. Ada berbagai proses yang perlu dilalui.

"Tidak mudah seseorang mengambil alih sekalipun itu keluarga. Karena melalui proses di pengadilan dulu. Pengadilan akan memastikan legalitasnya. Apa betul orang itu tepat mengasuh mereka," kata Susanto di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/5/2015).

Menurut dia, KPAI, Kementerian Sosial, dan kepolisian, belum menemukan penyebab dari masalah ini. Jika pangkal penyebabnya sudah ditemukan, akan mempermudah menangani kasus dan penanganan anak yang ditelantarkan tersebut.

"Ya kita belum menemukan pemicu utama keluarga korban melakukan tindakan itu. Tapi sesuai keterangan sementara, itu punishment supaya nurut sama orangtuanya. Ini kita dalami dulu penyebabnya," tambah dia.

"Yang dipastikan adalah orangtua ada perubahan cara pandang mengasuh anak. Ini jadi domain orangtua harus mengasuh, mendidik, dan tidak menelantarkan," tukas Susanto

Bocah laki-laki D sebelumnya diketahui telantar oleh tetangganya setelah selama sebulan luntang-lantung di sekitar kawasan perumahannya. Dia tidur di pos satpam dan makan minum dari belas kasih tetangga. Kedua orangtuanya melarang D masuk ke dalam rumah.

Selanjutnya

Polisi kemudian menangkap kedua orangtua bocah D tersebut. Selain bocah D, polisi juga menemukan 4 bocah lainnya di dalam rumah itu. Kini bocah tersebut diserahkan kepada KPAI. Sedangkan orangtua bocah dibawa ke Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan.

Jika dalam pemeriksaan kedua orangtua itu terbukti sengaja menelantarkan anaknya, mereka akan terancam hukuman pidana, revisi UU 35 Tahun 2014, dengan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda 100 juta. Hak asuh atas kelima anaknya juga bisa dicabut.

Ayah Membantah

Ayah bocah D, UP (45) menyangkal penelantaran yang dituduhkan kepada dirinya. UP membantah semua tuduhan menelantarkan anak, tidak memperbolehkan anaknya pulang, bahkan sampai tidak memberikan makan. 

"Sama sekali nggak ada, fitnah itu, susah begini jadinya," kata UP pada 14 Mei 2015.

Dia mengaku, D adalah anak lelaki tunggal yang hingga berusia 5 tahun dititipkan kepada sang nenek. Karena itulah sang ayah merasa kurang memiliki ikatan batin dengan putra tunggalnya itu.

UP menganggap, D terlalu manja hingga membuatnya bersikap tegas. Namun perlakuan itu berbeda dengan yang diberikan kepada 4 anak lainnya yang perempuan.

Dia menjelaskan, kondisi di rumahnya termasuk sebuah perumahan elite yang tidak ada pagarnya. Jika ada tetangga yang mengaku kalau anaknya dibiarkan bebas keluar-masuk rumah, itu merupakan hal biasa.

"Dia kan anak cowok, nggak masalah lah. Nggak ada perkara. Tetangga saja yang fitnah kita," ujar UP. (Ali/Ndy)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya