Liputan6.com, Jakarta - Mata uang Indonesia kembali mendapat tekanan. Dalam satu bulan terakhir, nilai tukar rupiah terus berada di kisaran 13.300 per dolar Amerika Serikat (AS). Jika dihitung dari awal tahun, rupiah telah melemah cukup tinggi.
Di awal tahun, rupiah masih bertengger di level 12.545 per dolar AS, sedangkan pada 15 Juni 2015, atau kurang lebih 6 bulan kemudian, rupiah telah melemah 783 per dolar AS atau 6,24 persen menjadi 13.328 per dolar AS.
Pelemahan rupiah ini sebenarnya tak sendiri. Beberapa mata uang negara lain juga mengalami pelemahan jika dibandingkan dengan dolar AS. Contohnya Ringgit Malaysia, untuk periode enam bulan terakhir juga mengalami pelemahan 8 persen terhadap dolar AS. Untuk periode yang sama, Rupee India juga mengalami pelemahan 1,5 persen terhadap dolar AS.
Hampir semua pihak menyebut Amerika sebagai biang kerok pelemahan rupiah. Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas pengelola meneter menjelaskan bahwa pelemahan rupiah sebagai akibat dari kebijakan dari Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed).
The Fed memang berencana untuk mengetatkan kebijakan moneter pada tahun ini. Namun dengan syarat jika memang pertumbuhan ekonomi negara tersebut positif. “Ada potensi kenaikan suku bunga The Fed di semester II 2015,” jelas Gubernur BI, Agus Martowardojo.
Rencana kenaikan suku bunga The Fed tersebut membuat dana-dana asing yang sebelumnya masuk ke negara berkembang bakal kembali. Alasannya, adalah faktor risiko. Jika perekonomian Amerika kembali bergairah, investor lebih memilih untuk menaruh dana di negara tersebut karena risiko dipandang lebih kecil jika dibanding dengan menaruh dana di negara-negara berkembang.
Senada, Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito mengatakan bahwa pelemahan rupiah terhadap lebih disebabkan faktor eksternal. Ito menjelaskan, sejak mengalami krisis pada 2008 lalu, banyak dana-dana dari Amerika yang masuk ke Indonesia. Dengan membaik perekonoman AS, dana tersebut akan kembali.
Sebagian besar analis yang disurvei Bloomberg mengatakan, rupiah dapat melemah lebih parah ke kisaran 13.500 per dolar AS pada akhir tahun nanti. Angka tersebut merupakan level terendah dalam 17 tahun terakhir atau sejak Agustus 1998 ketika Indonesia terkena dampak dari krisis finansial.
"Ketika ada sentimen dari risiko-risiko pembalikan dana sudah terlihat, negara seperti Indonesia lebih rentan," jelas Analis Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, Singapura, Teppei Ino.
Advertisement
Selanjutnya: Pasokan Dolar AS Berkurang...
Pasokan Dolar AS Berkurang
Pasokan Dolar AS Berkurang
Namun pelemahan rupiah tidak melulu karena pengaruh dari luar. Ada beberapa faktor fundamental yang menjadi penyebab rupiah melemah dalam beberapa pekan terakhir. Ito menjelaskan, salah satu penyebab pelemahan rupiah karena memang permintaan dolar AS di dalam negeri menguat.
Pada periode Juni setiap tahunnya ada kewajiban pembayaran dividen. Bagi investor global yang menaruh dananya di Bursa Efek Indonesia (BEI), setelah mendapat pembayaran dividen dari emiten dalam bentuk rupiah maka mereka akan menukarkan ke dolar AS. “Sebagian besar emiten membayar kewajiban dividen pada kisaran Juni,” jelas Ito.
Selain itu, Ito melanjutkan, ada juga kewajiban pembayaran utang dari beberapa emiten. Secara total posisi utang luar negeri pada akhir kuartal I 2015 tercatat sebesar US$ 298,1 miliar, terdiri dari utang sektor publik atau utang yang diterbitkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia sebesar US$ 132,8 miliar atau 44,5 persen dari total dan utang luar negeri sektor swasta sebesar US$ 165,3 miliar atau 55,5 persen dari total.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menambahkan, pelemahan rupiah juga disebabkan karena pasokan dolar AS turun. “Jadi karena ekspor turun dan ditambah lagi karena devisa hasil ekspor juga tidak masuk ke Indonesia,” jelasnya.
Menurut Enny, beberapa perusahaan lebih memilih untuk tidak menyimpan dana hasil ekspor di Indonesia karena memang kepercayaan bisnis mengalami penurunan akibat pertumbuhan ekonomi melambat.
Badan Pusat Statisitik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2015 tercatat 4,71 persen secara tahunan (year on year/yoy), atau turun dibandingkan kuartal I 2014 sebesar 5,21 persen.
Kepala BPS Suryamin mengatakan besaran pertumbuhan ekonomi ini dipengaruhi melemahnya perekonomian di China. "Yang menentukan pertumbuhan ekonomi karena ekonomi China menurun dari 7,4 persen menjadi 7 persen," kata dia.
Penyebab lainnya pelemahan harga minyak mentah dunia. Kemudian penurunan nilai ekspor dan impor di kuartal I dibandingkan periode yang sama di tahun lalu.
Selanjutnya: Sejauh Mana Intervensi BI?...
Advertisement
Sejauh Mana Intervensi BI?
Sejauh Mana Intervensi BI?
Melihat pelemahan rupiah ini, sebenarnya BI tidak tinggal diam. Otoritas moneter tersebut terus melakukan intervensi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Analis Pasar Uang Asia Commonwealth Bank of Australia, Singapura, Andy Ji menjelaskan, pada awal Juni 2015 rupiah sempat tertekan cukup dalam. Namun kemudian rupiah kembali menguat meskipun masih di kisaran 13.300 per dolar AS.
Menurutnya, BI telah menunjukkan kekuatannya dengan melakukan intervensi. Selama ini memang BI terus menjaga rupiah agar volatilitasnya tidak terlalu tinggi. "Jelas bahwa mereka telah menyediakan likuditas dolar AS yang cukup di pasar," tutur Andy.
Dengan persediaan yang cukup tersebut maka meskipun ada permintaan yang tinggi namun penguatan dolar tak tinggi. Namun memang, untuk bisa melakukan intervensi pasar terus-menerus karena BI tak bisa terus menerus menggunakan cadangan devisa untuk melakukan kontrol terhadap rupiah.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Mei 2015 tercatat sebesar US$ 110,8 miliar, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir April 2015 sebesar US$ 110,9 miliar. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengakui bahwa salah satu penyebab turunnya cadangan devisa karena untuk stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya.
Selain itu, secara jangka panjang BI juga mencoba mengeluarkan kebijakan untuk menjaga rupiah. Pada Selasa (9/6/2015), BI mengeluarkan aturan yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Bank Indonesia Nomor 17/11/DKSP perihal Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tersebut mulai berlaku pada 1 Juni 2015 lalu.
Pelaksana Tugas Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI, Eko Yulianto mengatakan, ada beberapa hal yang diatur dalam SE ini. Pertama, soal kewajiban penggunaan rupiah di wilayah NKRI menganut asas teritorial.
Jadi, setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI, baik dilakukan oleh penduduk maupun bukan penduduk, transaksi tunai maupun non tunai, sepanjang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah.
"Di area KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) untuk perdagangan bebas itu pun harus menggunakan rupiah. Dalam transaksi pembayaran, kita wajib menerima pembayaran menggunakan rupiah," ujarnya.
Kedua, dalam rangka mendukung pelaksanaan kewajiban penggunaan rupiah, pelaku usaha baik perseorangan maupun korporasi wajib mencantumkan harga barang dan atau jasa hanya dalam rupiah, dan dilarang mencantumkan harga barang dan atau jasa dalam rupiah dan mata uang asing secara bersamaan (dual quotation).
"Jadi dilarang menggunakan dual quotation. Baik untuk sewa menyewa, tarif harus menggunakan rupiah," lanjutnya.
Ketiga, untuk proyek infrastruktur tertentu yang strategis, BI mempersilahkan adanya penyesuaian. Proyek-proyek tersebut akan dilakukan penilaian oleh BI secara langsung. Diharapkan, dengan adanya aturan tersebut maka kebutuhan akan dolar AS akan berkurang sehingga membuat rupiah lebih stabil. (Ein)