Pansus Diminta Usut Tuntas Indikasi Pidana PT Pelindo II

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Fahmi Radhy menilai pansus juga harus mengembalikan kepemilikan saham 100 persen oleh negara.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 05 Nov 2015, 07:57 WIB
Diterbitkan 05 Nov 2015, 07:57 WIB
Aktivitas Bongkar Muat di JICT Tanjung Priok
Sejumlah pekerja saat mengecek peti kemas di Pelabuhan JICT, Tanjung Priuk, Jakarta, Rabu (25/3/2015). Pelindo II mencatat waktu tunggu pelayanan kapal dan barang sudah mendekati target pemerintah. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - ‎Panitia Khusus (Pansus) Angket Pelindo II yang dibentuk DPR harus bisa membatalkan perpanjangan konsesi Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan pihak asing. Sebab keputusan perpanjangan tersebut telah melanggar Undang-Undang‎ Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhy menilai pansus harus mengembalikan kepemilikan saham 100 persen yang dimiliki negara. Pansus juga harus mengusut tuntas indikasi pelanggaran pidana dan potensi suap di balik keputusan sepihak atas perpanjangan kerja sama tersebut.

"Pansus juga harus menemukan pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang menghalangi proses pemeriksaan yang sudah dilakukan oleh Bareskrim," kata Fahmi saat dihubungi, Rabu 4 November 2015.

Menurut dia, keputusan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino memperpanjang konsesi tersebut, sepihak. Ini berpotensi merugikan negara.

Perpanjangan JICT merugikan negara karena nilainya US$ 215 juta, lebih kecil dari nilai penjualan 20 tahun lalu sebesar 231 juta dolar AS.

Dia mengatakan, jika tidak diperpanjang dan 100 persen saham dimiliki Pelindo II, negara akan memperoleh potensi pendapatan sekitar Rp 30 triliun per tahun.

Baca Juga

Selain itu, lanjut dia, perpanjangan kerja sama yang dilakukan melalui kontrak tertutup melanggar prinsip transparansi.

"Perpanjangan JICT mengabaikan rekomendasi  Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) menilai perpanjangan kontrak sangat berisiko dan merugikan negara," sebut Fahmi. (Bob/Ans)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya