Hanura: Tak Ada Syarat Mahar Politik dalam Pilkada

Frans menilai pemuka agama perlu terlibat menyukseskan Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan cara membangun optimisme publik.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 12 Mar 2016, 02:59 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2016, 02:59 WIB
20160229-Hanura dan JalaPRT-Jakarta-Johan Tallo
Ki-ka: Koordinator JalaPRT, Lita Anggraini, Bendahara F-Partai Hanura, Miriyam S Haryani dan Wakil Ketua Fraksi Dadang Rusdiana saat menghadiri diskusi mengenai RUU PPRT di Ruang F-Partai Hanura, Jakarta, Senin (29/2/2016). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura Frans Agung Mula Putra mengatakan, partainya tidak pernah memberikan syarat berupa mahar politik terhadap kepala daerah yang didukung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

"Tidak ada. Mahar politik inkonstitusional," ujar Frans dalam diskusi di kantor organisasi sayap Partai Hanura, Satria Hanura, Jalan Mahkam, Jakarta Selatan, Jumat (11/3/2016).

Pernyataan Frans itu menyikapi berita-berita tentang mahar politik yang dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok berkaitan pilkada.

Frans berujar, dalam Undang-Undang Partai Politik, sudah jelas tidak ada kewajiban pemberian mahar politik bagi kepala daerah yang didukung partai politik. Karena itu praktik pemberian mahar politik jelas melanggar ketentuan.

"Kami di Hanura tentu tidak akan melanggar hukum, terlebih dengan mahar politik, itu kepala daerah jika terpilih bisa-bisa melakukan korupsi dana APBD," tegas dia.

Sebelumnya Ahok menyatakan dirinya tidak sanggup mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 melalui jalur partai politik.

Menurut Ahok, partai tidak meminta mahar politik, namun hanya meminta anak ranting dan cabang partai bergerak. Ahok mengatakan untuk membuat anak ranting dan cabang bergerak, selama 10 bulan dengan estimasi dukungan 2 partai politik, maka diperlukan dana Rp 100 miliar.

Peran Pemuka Agama

Frans menilai pemuka agama perlu terlibat menyukseskan Pilkada DKI Jakarta 2017, dengan cara membangun optimisme publik melalui ceramah keagamaan.


Menurut Frans, dalam Pilkada 2015, tingkat optimisme masyarakat terhadap pemilihan kepala daerah serentak masih relatif rendah.

"Masyarakat kita cenderung cuek dengan pemilihan yang telah berlangsung, di mana rata-rata angka partisipasi pemilih hanya sekitar 55% dan paling rendah di Medan dengan persentase pemilih 27%. Peran pemuka agama dan lingkungan penting," kata dia.

Frans mengatakan, tidak sedikit laporan yang menyebutkan masyarakat di sejumlah daerah bersedia ikut pilkada, jika diimingi sesuatu. Masyarakat juga umumnya berpikiran calon kepala daerah terpilih akan melupakan akar rumput saat telah menjabat.

"Maka itu masyarakat perlu disadarkan bahwa pemilihan kepala daerah adalah pintu masuk perubahan. Masyarakat tidak boleh apatis dan pragmatis terhadap pemilihan," ujar dia.

Untuk itu, Frans menekankan, partai politik dan pasangan calon yang akan maju pada pilkada serentak, berkewajiban memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Di sisi lain, pemuka agama menurut dia, juga bisa ikut serta mendorong optimisme publik melalui ceramah keagamaan mereka.

"Tempat-tempat ibadah bisa dijadikan tempat untuk menyadarkan masyarakat, agar optimistis terhadap pemilihan kepala daerah sebagai jalan membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik," tandas Frans.

Pilkada serentak putaran kedua akan dilaksanakan 2017, di antaranya digelar Ibu Kota DKI Jakarta. Ketua Umum DPP Satria Hanura Williem Tuhumury mengatakan dalam pilkada 2017, pihaknya patuh dan mendukung calon-calon yang diusung DPP Partai Hanura yang dipimpin Wiranto tersebut.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya