Soal Pendamping Desa, Akademisi Minta Eks PNPM Ikut Aturan

Pendamping desa tentu harus memiliki kemampuan komunikasi yang bagus dan memahami betul kondisi desa itu.

oleh Liputan6 diperbarui 09 Apr 2016, 08:13 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2016, 08:13 WIB
 Istana menerima 15 orang perwakilan dari Aliansi Pendamping Profesional Desa Jawa Barat yang demonstrasi di depan Istana Kepresidenan.
Istana menerima 15 orang perwakilan dari Aliansi Pendamping Profesional Desa Jawa Barat yang demonstrasi di depan Istana Kepresidenan.

Liputan6.com, Jakarta - Keinginan eks pendamping Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) agar langsung menjadi pendamping desa tanpa mekanisme seleksi dinilai melanggar aturan.

Pemerhati Pemberdayaan Masyarakat, Arief Subhan, yang juga Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN (Universitas Islam Negeri), menyayangkan adanya aksi "pemotongan jalur" yang dilakukan oleh eks pendamping PNPM.

"Saya pikir semua ada prosedurnya. Karena itu, keinginan untuk menjadi pendamping tanpa mekanisme seleksi, jelas tidak sesuai peraturan perundangan," kata Arief kepada wartawan, Sabtu (9/4/2016).

Arief menjelaskan Peraturan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2015 Pasal 23 secara jelas menyebutkan bahwa rekrutmen pendamping desa, pendamping teknis, dan tenaga ahli, pemberdayaan masyarakat dilakukan secara terbuka.

Oleh sebab itu, pendamping desa eks PNPM juga harus melewati mekanisme seleksi sebagaimana peraturan yang berlaku. "Itu jauh lebih bijak dilakukan oleh teman-teman daripada memaksakan kehendak," tutur Arief.


Tak berhenti di situ, Arief menjelaskan beberapa hal terkait perbedaan Pendamping Desa dengan PNPM. Menurut dia, Pendamping Desa harus mengetahui karakteristik desa yang didampingi.

"Ini penting karena semangat UU Desa adalah menjadikan desa sebagai subyek pembangunan. Ini berbeda dengan PNPM yang terkesan top down serta menempatkan desa sebagai objek pembangunan," ucap Arief.

Arief juga mengamati bahwa ada perbedaan cara kerja dan komunikasi antara tugas Pendamping Desa mendampingi pemerintah dan masyarakat desa. Sebab, PNPM hanya mengawal dana bergulir.

"Pendamping Desa tentu harus memiliki kemampuan komunikasi yang bagus dan memahami betul kondisi desa itu," ujar Arief.

Dalam kaitan ini, sebuah laporan yang dibuat oleh Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS, tahun 2013 yang mengutip dari Badan Pengawasan Keuangan dan pembangunan (BPKP) menemukan beberapa penyalahgunaan keuangan PNPM.

BPKP mencatat bahwa dari tahun 2007 hingga 2012 terjadi tren peningkatan penyalahgunaan. Tahun 2007 ada 288 temuan dengan nilai 1,8 miliar. Namun pada tahun 2012 angkanya meningkat hingga mencapai 29,388 miliar.

Buku yang berjudul Evaluasi PNPM Mandiri itu menulis bahwa kasus penyalahgunaan dana, yakni bentuk yang paling umum adalah korupsi dengan penggelapan, mark up anggaran dan pembentukan kelompok fiktif.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya