Bos PT BI Irit Bicara Usai Diperiksa soal Korupsi Gubernur Sultra

Hanya saja, ia mengaku pemeriksaan KPK kali ini seputar PT Anugrah Harisma Barakah.

oleh Oscar Ferri diperbarui 01 Sep 2016, 23:23 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2016, 23:23 WIB
20151013-Gedung-Baru-KPK
Tampilan depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru di Jl Gembira, Guntur, Jakarta, Selasa (13/10/2015). Gedung tersebut dibangun di atas tanah seluas delapan hektar dengan nilai kontrak 195 miliar rupiah. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rampung memeriksa Emi Sukiati Lasimon. Pemilik PT Billy Indonesia (BI) itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

Kelar diperiksa, Emi tampak buru-buru saat diketahui baru keluar dari Gedung KPK, Jakarta. Emi yang mengenakan kemeja putih itu langsung dikejar awak media yang hendak menanyai perihal pemeriksaan KPK.

Namun, bos PT BI ini irit bicara soal pemeriksaan kali ini. Hanya saja, ia mengaku pemeriksaan kali ini seputar PT AHB.

"(Soal) AHB," ucap Emi sambil berlari ke arah taksi yang menjemputnya di pelataran Gedung KPK, Jakarta, Kamis 1 September 2016.

Dia mengaku, pada pemeriksaan kali ini penyidik KPK belum menyinggung soal Nur Alam. Terutama, pemberian SK IUP untuk PT AHB yang juga berafiliasi dengan PT Billy Indonesia itu.

"Belum, belum (soal Nur Alam)," kata Emi sambil membanting pintu taksi.

Selain itu, Direktur PT Billy Indonesia, Widi Aswindi juga kelar diperiksa KPK. Sama dengan Emi, Widi juga irit komentar soal pemeriksaan kali ini.

"(Diperiksa soal) PT Billy. Makasih," kata Widi yang juga karyawan PT AHB tersebut.

Baik Emi maupun Widi telah dicegah bepergian ke luar negeri oleh KPK melalui Ditjen Imigrasi. Keduanya dicegah bersama dengan Kepala Dinas ESDM Pemprov Sultra, Burhanuddin serta Nur Alam. Mereka berempat dicegah untuk enam bulan ke depan demi kepentingan penyidikan.

KPK sebelumnya menetapkan Gubernur Sultra Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan surat keputusan (SK) terkait izin usaha pertambangan (IUP) kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana.

Diduga, Gubernur Sultra 2008-2013 dan 2013-2018 itu menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.

Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam dari tahun 2009 sampai 2014 mengeluarkan tiga SK kepada PT AHB. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.

Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

PT AHB merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.

PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hong Kong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya