Liputan6.com, Jakarta - Dinihari itu, tidak seperti subuh biasanya bagi seorang Ratna Sarumpaet. Jumat 2 Desember 2016, dia memulai hari dengan perdebatan sengit.
Kunjungan pagi buta dari kepolisian itu mengejutkannya, lantaran penegak hukum itu ingin membawa Ratna ke Polda Metro Jaya. Alasannya, untuk dimintakan keterangan terkait dugaan makar yang hendak dilakukan dengan beberapa rekan politiknya.
Ratna berdebat karena dia ingin didampingi pengacara. Dia lantas menghubungi Ketua Advokasi Cinta Tanah Air (ACTA), Kris Ibnu. Belakangan, Kris Ibnu menjadi salah satu pengacaranya.
Advertisement
Kris mengaku penyidik Polda Metro Jaya sudah tiba di Hotel Sari Pan Pacific, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pukul 05.00 WIB. "Tapi baru bisa dibawa pukul 06.30 karena menang harus didampingi sama advokat," ungkap Kris, di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Jumat 2 Desember 2016.
Ratna Sarumpaet bersama tokoh lainnya ikut diamankan polisi di hari yang sama dan waktu yang kurang lebih sama. Mereka adalah Kivlan Zein, Adityawarman, Firza Husein, Ekko Alvin Indra, Rachmawati Soekarnoputi, Ahmad Dhani, Sri Bintang Pamungkas, Jamran dan Rizal Kobar.
Masing-masing mereka disangka melanggar pasal berbeda. Ada yang diduga berbuat makar dan pemufakatan jahat, penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo, serta ujaran kebencian yang mengandung suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
Media Sosial
Saat rapat bersama dengan Komisi III DPR, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan alasan pihaknya menangkap para tersangka makar pada Jumat dinihari. Dia mengaku, khawatir ada upaya memutarbalikkan fakta dari para tersangka jika ditangkap jauh-jauh hari atau sebelum demo 2 Desember 2016.
"Kita lakukan penangkapan kenapa tidak sehari, dua hari, tiga hari sebelumnya? Karena ini akan dipelintir kemudian di media sosial. Bapak-bapak paham betul kekuatan media sosial," ungkap Tito di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Selatan, Senin 5 Desember 2016.
"Bisa membalikkan semua. Maka yang terjadi di balik penangkapan seolah-olah dilakukan penggembosan massa aksi Bela Islam. Wah, itu bahaya sekali," ujar Tito lagi.
Untuk itu, Polri pun menentukan waktu yang tepat untuk menangkap mereka. Polisi juga tidak menutup-nutupi penangkapan tersangka makar tersebut. Polisi sengaja menyampaikannya agar masyarakat mengetahui kejadiannya.
"Kita setting penangkapan subuh agar tidak ada lagi waktu untuk goreng-goreng, provokasi massa," ujar Tito.
Menurut dia, Polri ingin publik mendapatkan informasi akurat dengan cepat. Tujuannya, agar tidak ada lagi kesimpangsiuran pemberitaan tentang penangkapan tersangka makar ini.
"Penangkapan ini upaya kami tidak ingin agenda suci untuk ibadah yang betul-betul mereka satu maunya, proses hukum Ahok. Itu mereka ibadah. Karena itu kita tidak ingin ada pihak lain yg ganggu kesucian ini. GNPF MUI bilang, 'Pak tolong jaga supaya enggak ada yang ganggu massa'," Tito menandaskan.
Advertisement
Strategi Makar: Duduki DPR
Tito mengatakan, berdasarkan informasi dari intelijen, ada komunikasi yang intens antara para pelaku makar dengan demonstran 2 Desember. Rencananya, kelompok tersebut akan mengarahkan ratusan ribu massa aksi Bela Islam Jilid III ke gedung parlemen untuk menduduki MPR/DPR.
"Silakan jika datang ke DPR sampaikan aspirasi ke komisi masing-masing. Tapi duduki DPR secara paksa, kekerasan, apapun alasannya, itu inkonstitusional. Kami melihat gerakan itu," ungkap dia.
Sebab itu, Kapolri jauh-jauh hari menyebut ada kelompok makar yang berencana mendompleng massa Aksi Bela Islam. Namun, masyarakat salah paham dan menganggap pernyataan itu mengarah ke GNPF MUI.
"Kami tahu Anda (pelaku makar), kira-kira begitu. Tolong hentikan, jangan manfatkan massa GNPF yang murni ingin proses hukum terhadap saudara Basuki. Polri komit untuk proses hukum itu sudah kita buktikan," jelas Tito.
Untuk itu, Polri pun membangun dialog dengan massa GNPF MUI dan sejumlah tokoh masyakarat. Hasilnya, jelas demonstran Bela Islam Jilid III hanya membawa satu isu yakni penanganan perkara Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Kami bangun dialog dengan GNPF dalam rangka tuntutan Basuki atau melakukan ikut dalam upaya duduki DPR, kemudian agenda politik lain? Mereka menyatakan komit, tidak. Kami putusannya satu isu, proses hukum," beber dia.
Beruntungnya, GNPF MUI akhirnya tidak keras hati dan mau memindahkan agendanya yang semula gelar sajadah di Jalan Sudirman-Thamrin ke Monumen Nasional atau Monas.
"Kalau begitu, jangan gunakan Jalan Sudirman-Thamrin. Kalau mereka gunakan Jalan Sudirman-Thamrin, dengan massa yang begitu besar, ekornya ada di DPR/MPR sampai Semanggi, Patung Senayan, belok dia ke depan Hotel Mulia dan seterusnya. Sampai ke belakang DPR, berikutnya naik Semanggi dan pelintir sedikit saja. Mudah sekali jumlah massa besar, mudah sekali (ke DPR)," beber Tito.
Belakang Layar (Baca: Dalang)
Penangkapan tersebut, bukan tanpa kejanggalan. Anggota Komisi III DPR Erma Suryani Ranik termasuk dalam barisan yang mempertanyakan hal itu.
Kader Partai Demokrat itu mengaku heran dengan usia dan kesehatan para tersangka yang ditangkap terkait dugaan makar. Salah satunya, menurut Erma, Rachmawati Soekarnoputri.
"Kenapa kami sangat concern? Karena dari segi usia sangat aneh. Segi akses terhadap upaya makar agak kurang sesuai syarat," ujar Erma dalam rapat bersama Komisi III DPR dengan Polri, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin 5 Desember 2016.
"Ibu Rachmawati duduk di atas kursi roda. Saya khawatir tindakan ini aparat kepolisian jadi sangat represif. Dulu dikit-dikit ditangkap. Ini membuat orang tidak kritis terhadap pemerintah," kata dia.
Menanggapi hal itu, Tito menjawab, usia maupun kondisi fisik tidak otomatis membuat seseorang tidak berdaya dalam berbuat makar. Justru asumsinya adalah mereka punya pengalaman dan mampu menggerakkan massa.
"Enggak harus beliau turun langsung dobrak pagar DPR. Tapi bisa dilakukan dengan melakukan setting, desain kegiatan. Justru yang senior yang bisa. Pengalaman," ujar Tito.
Menurut Tito, para pemuda akan dimanfaatkan para aktor di balik makar untuk mendobrak dan menduduki DPR demi menggelar sidang istimewa. Karena itu, tidak salah jika Polri menangkap 11 tersangka makar yang didominasi tokoh-tokoh senior yang sudah lanjut usia.
"Yang muda ini itu muscle-nya. Ototnya yang muda, jadi tidak menjamin. Tidak harus dari segi fisik, usia. Makin usia matang, makin matang bergerak dengan taktik lapangan. Kita akan terus proses ini," tegas Tito.
Advertisement