Liputan6.com, Jakarta - Sejak awal masa peradaban modern manusia pada 1500 Masehi pertanyaan tentang asal-usul alam semesta selalu menjadi misteri yang menarik untuk ditelusuri. Para ilmuwan dan filsuf telah mengembangkan berbagai teori untuk menjelaskan bagaimana alam semesta tercipta.
Teori pembentukan alam semesta yang paling populer adalah Big Bang. Teori ini meyakini bahwa terbentuknya alam semesta berasal dari dentuman yang dahsyat.
Advertisement
Teori Big Bang dikemukakan oleh Abbe Lemaitre pada 1920-an. Teori ini meyakini bahwa alam semesta berasal dari gumpalan atom yang sangat besar.
Advertisement
Baca Juga
Suhu gumpalan atom ini diperkirakan berkisar antara 10 milyar sampai 1 triliun derajat Celsius. Gumpalan atom tersebut meledak 15 milyar tahun yang lalu.
Sisa-sisa ledakan inilah yang menyebar dan menjadi awan hidrogen. Awan ini membentuk bintang-bintang yang kemudian membuat bintang berpusat membentuk galaksi.
Teori ini sesuai dengan berbagai pengamatan ilmiah, termasuk radiasi latar belakang kosmik dan distribusi unsur ringan di alam semesta. Para astronom telah melakukan berbagai pengukuran terhadap radiasi elektromagnetik yang tersisa dari alam semesta muda, dan semuanya sesuai dengan prediksi teori Big Bang.
Sejauh yang kita tahu, ini adalah gambaran akurat dari awal alam semesta kita. Namun, meskipun teori ini sangat baik, kita tahu bahwa teori Big Bang belum sepenuhnya lengkap.
Bagian yang hilang adalah teka-teki momen paling awal dari alam semesta itu sendiri. Penelitian baru dalam fisika teoretis menunjukkan kemungkinan lain.
Hipotesis
Ada hipotesis yang menyatakan bahwa alam semesta mungkin tidak benar-benar memiliki awal, tetapi justru mengalami siklus bang-bounce yang berulang—bisa jadi sekali, atau bahkan tanpa henti selamanya. Melansir laman Live Science pada Kamis (06/02/2025), salah satu gagasan dalam teori ini adalah konsep ekpirotik, yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti "kebakaran besar".
Dalam skenario ini, Big Bang bukanlah awal segalanya, tetapi bagian dari proses yang lebih besar. Dari teori ekpirotik, berkembang pula gagasan kosmologi siklis, yang menyatakan bahwa alam semesta mengalami siklus berulang dari ledakan besar (Big Bang) dan keruntuhan besar (Big Crunch), mungkin selamanya.
Secara teknis, ide tentang alam semesta yang terus berulang telah ada selama ribuan tahun dan mendahului fisika modern, tetapi teori string memberikan dasar matematika yang lebih kuat bagi konsep ini. Meskipun menarik, model siklus ini menghadapi tantangan besar dalam mencocokkan pengamatan ilmiah, khususnya radiasi latar belakang kosmik, jejak cahaya kuno yang terbentuk ketika alam semesta berusia 380.000 tahun.
Namun, penelitian terbaru yang dipublikasikan pada Maret 2020 di jurnal Physical Review D oleh fisikawan Robert Brandenberger dan Ziwei Wang dari McGill University menemukan bahwa dalam momen bounce atau "pantulan" saat alam semesta berkontraksi ke titik kecil sebelum meledak kembali, ada kemungkinan untuk menyelaraskan model ini dengan data pengamatan.
Pada saat "pantulan" ini, ketika alam semesta menyusut hingga titik yang sangat kecil sebelum berkembang kembali menjadi keadaan Big Bang. Para ilmuwan menemukan bahwa mereka dapat menyusun kembali persamaan sehingga hasilnya sesuai dengan pengamatan yang telah dilakukan.
Artinya, fisika yang sangat kompleks pada era kritis ini memungkinkan adanya perubahan radikal dalam cara kita memahami waktu dan keberadaan alam semesta.
(Tifani)
Advertisement
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)