Liputan6.com, Jakarta - Hoax kian meresahkan. Genderang perang melawan hoax pun ditabuh. Mulai dari masyarakat bawah, hingga Presiden Jokowi bereaksi melawan hoax.
Hoax adalah istilah untuk menyebut berbagai pemberitaan atau penyebarluasan informasi yang berisi tentang kebohongan. Bahkan, dengan sengaja disebarluaskan melalui berbagai media informasi, baik cetak, elektronik, maupun online.
Baca Juga
Semakin meresahkannya hoax membuat sejumlah masyarakat dan pegiat media sosial mendeklarasikan Masyarakat Indonesia Anti-Hoax saat car free day di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu 8 Januari 2017. Aksi simpatik ini mengajak seluruh masyarakat agar peduli serta memerangi penyebaran berita bohong atau hoax yang marak di media sosial.
Advertisement
"Deklarasi ini merupakan langkah awal kepada masyarakat, kita mengingatkan yuk kita gunakan Facebook dengan cerdas, kita gunakan jempol dengan hati-hati," ucap Ketua Masyarakat Indonesia Anti-Hoax Septiaji Eko Nugroho.
Menurut dia, deklarasi dan sosialisasi ini dapat mengajak masyarakat untuk lebih kreatif dalam menggunakan media sosial.
"Berharap ke depan teman-teman kita itu dapat menggunakan media sosial untuk hal-hal yang berkolaborasi, bersinergi untuk membangun bangsa kita, bukan untuk memperburuk. Sangat disayangkan kalau Indonesia yang harusnya bisa menikmati bonus demografi di 2030 justru diisi orang yang tidak cerdas," papar dia.
Artis yang juga Duta Anti-Hoax, Olga Lydia mengatakan, masyarakat seharusnya tidak langsung membagikan berita yang diperoleh sebelum mengetahui kebenarannya.
"Karena banyak yang tertipu dengan hoax sehingga kita harus menahan dalam menggerakkan jempol kita. Kalau ragu dan enggak sempat mengecek, mendingan enggak usah di-share lah," ucap Olga.
Dia juga mengingatkan, pembuat hoax akan lebih diuntungkan dari sikap masyarakat yang ikut serta dalam penyebaran berita bohong tersebut. "Jangan salah, karena setiap 100 ribu klik itu mereka mendapatkan Rp 1,3 juta. Karena menurut saya kasihan sekali banyak orang yang kaya karena menipu dari hoax," ungkap Olga.
Jurus Pemerintah
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara menyatakan akan berkoordinasi dengan Facebook dalam mengatasi penyebaran hoax di media sosial. Langkah ini ditujukan agar masyarakat secara efektif dapat memanfaatkan media sosial dengan baik.
"Sudah berinteraksi dengan Facebook dan mereka akan datang ke Indonesia," jelas Rudiantara.
Pemerintah, lanjutnya, juga mengajak masyarakat dan komunitas untuk memerangi hoax. Persoalan ini dianggap penting mengingat banyak informasi tak valid yang bersileweran di media sosial.
"Peran serta masyarakat begitu penting dan pemerintah akan mengajak masyarakat atas berita hoax," kata Rudiantara.
Menurut dia, perang melawan hoax saat ini dilakukan dari hulu, yaitu dengan mengadakan literasi dan sosialisasi agar masyarakat Indonesia mendapatkan konten yang sehat. Kominfo menyediakan fasilitas pengaduan bagi masyarakat. Melalui bekerja sama dengan komunitas, ia berharap ada penyaringan langsung dari masyarakat. 2821085
Sosialisasi ini juga dilakukan ke sekolah. Selain juga membuat whitelist, situs yang sebaiknya diakses oleh lembaga pendidikan formal maupun informal, sejak 2015. Rudiantara berharap pada 2019 mendatang, whitelist yang kini berjumlah sekitar 100 ribu situs dapat berjumlah lebih banyak dari blacklist.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki mengungkap, ada tiga cara yang kini sedang digodok pemerintah. Yakni melibatkan perusahaan media sosial dalam menghapus konten negatif, penerapan denda bagi perusahaan, dan menyiapkan literasi tentang penggunaan media sosial.
Menurut Teten, keterlibatan perusahaan media sosial dalam melakukan pengawasan sangat penting. Setiap perwakilan perusahaan media sosial bergabung bersama pemerintah dalam satu satgas. Pemerintah berhak meminta media sosial menghapus semua konten bohong yang muncul dalam 24 jam.
"Kenapa saya mengambil contoh Jerman karena Jerman negara demokrasi yang sudah mapan. Bukan kepentingan untuk kekuasaan. memang untuk menjaga kualitas demokrasi," jelas Teten.
Selain itu, dipertimbangkan juga menjatuhkan denda bagi perusahaan yang membiarkan konten negatif terus muncul tanpa filter. Denda yang diterapkan di Jerman bahkan mencapai € 500 ribu.
"Denda bagi perusahaan media tadi yang memang memfasilitasi ikut menyiarkan berita-berita bohong," imbuh dia.
Terakhir, kementerian harus menyiapkan fungsi literasi tentang media sosial. Literasi ini harus mulai dijalankan melalui berbagai pendidikan.
"Fungsi literasi tentang medsos oleh kementerian, kepada masyarakat lewat pendidikan. Kan ada anak muda yang itu perlu memahami bagaimana media sosial," tambah Teten.
Jurus-jurus ini telah dibicarakan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Jokowi. Opsi ini secara teknis akan dibahas kembali di tingkat menteri yang dipimpim oleh Menko Polhukam.
"Pemerintah bukan antikritik. Kritik bagi kita justru untuk melecut kinerja pemerintahan dan saya kira beda antara kritik dengan menghasut, mendeligitimasi kan beda. Jangan sampailah demokrasi Indonesia yang sudah mulai bagus ini kemudian dirusak," Teten memungkasi.
Advertisement
Ajakan Jokowi
Presiden Jokowi mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mensyiarkan perilaku ahlakul karimah atau akhlak yang mulia dengan bersopan santun, berbudi pekerti dalam keseharian, serta menghindari kabar fitnah atau hoax.
"Marilah kita ajak rekan-rekan kita yang ada di luar, yang sering menyampaikan hal yang berkaitan fitnah, berita-berita yang bohong, ujaran kebencian, hasutan-hasutan, marilah kita ajak untuk mengembangkan bersama-sama nilai-nilai kesantunan, nilai nilai kesopanan, nilai nilai budi pekerti yang baik," kata Jokowi saat mengunjungi Pondok Pesantren At Taufiqy, Kecamatan Wonopringgo, Pekalongan, Minggu 8 Januari 2016.
Jokowi mengatakan, saat ini banyak hoax yang tersebar melalui media sosial secara tidak bertanggung jawab. Menurut dia, para santri mempunyai peran serta potensi menyebarkan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan pondok pesantren kepada masyarakat.
"Ini perlu ditularkan ke luar agar kesantunan, kesopanan, budi pekerti yang baik itu sesuai ajaran Nabi, akhlak yang baik, ahlakul karimah itu betul-betul bisa kita punyai dari generasi-generasi Indonesia yang akan datang," tegas Jokowi.
Sementara, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengajak masyarakat menjaga perilaku dalam menggunakan media sosial untuk menghindari permusuhan yang dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
"Mulai pagi ini jaga perilaku kita, jaga omongan kita terutama dalam bersosial media, hoax sudah meresahkan, ayo berani jujur, jangan pakai anonim, tabayun dan demi Indonesia, hentikan penyebaran berita bohong," ujar dia, di Semarang.
Hal tersebut disampaikan Ganjar setelah menghadiri Deklarasi Masyarakat Antiberita Hoax yang berlangsung pada acara hari bebas kendaraan di Jalan Pahlawan Kota Semarang. Lebih lanjut Ganjar menyebutkan Indonesia menduduki peringkat terbawah dalam kemampuan literasi.
"Tapi di tingkat kecerewetan, kita nomor lima di dunia. Jadi kita itu jago cerewet tanpa literasi," ujar Ganjar.
Menurut Ganjar, kondisi tersebut menyebabkan masyarakat Indonesia mudah menyebarnya berita sumir, berita bohong, bahkan cenderung fitnah. Ganjar menilai mayoritas masyarakat yang pada dasarnya sudah malas membaca, karena itu, menjadi mudah diprovokasi atau dipengaruhi kabar-kabar yang tidak benar.
"Hentikan lah penyebaran berita permusuhan, adu domba yang disebarkan lewat sosial media, dan lini-lini online berbasis ponsel. Demi masa depan kita, demi Indonesia. Agar kita bisa beribadah dengan tenang, memuja dan memuji Tuhan, atas nikmatnya pada negeri yang damai ini," imbau Ganjar.
Sejarah Hoax
Hoax diyakini ada sejak ratusan tahun lalu. Dalam buku berjudul Sins Against Science karya Lynda Walsh, hoax merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang masuk sejak era industri. Diperkirakan muncul pada 1808.
Istilah hoax dipercaya berasal dari kata-kata mantra para penyihir pada zaman dulu, yaitu "Hocus Pocus". Kata itu berasal dari bahasa latin, yakni "Hoc est corpus", yang digunakan para penyihir untuk memperdaya orang lain dengan kata-kata mereka yang ternyata bohong. Seperti 'Sim Salabim'.
Sementara, Alexander Boese dalam bukunya, Museum of Hoaxes, mencatat hoax pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada 1709. Saat itu, Swift meramalkan kematian astrolog John Partridge. Agar meyakinkan publik, ia bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya.
Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Partridge di mata publik. Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoax beredar.
Penyair aliran romantik Amerika Serikat, Edgar Allan Poe, pun diduga pernah membuat enam hoax sepanjang hidupnya, seperti informasi dari hoaxes.org yang dikelola Boese.
Poe, sekitar 1829-1831, menulis di koran lokal, Baltimore, akan ada orang yang meloncat dari Phoenix Shot Tower pada pagi hari 1 April. Orang itu ingin mencoba mesin terbang buatannya, dan akan melayang ke Lazaretto Point Lighthouse yang berjarak 2,5 mil.
Saat itu, Phoenix Shot Tower yang baru dibangun, merupakan bangunan tertinggi di AS. Berita orang terbang di gedung tertinggi itu menarik banyak peminat, hingga orang-orang berkumpul di bawah gedung untuk menyaksikannya.
Tapi, yang ditunggu-tunggu tak kunjung hadir. Kerumunan orang kesal dan bubar begitu menyadari hari itu 1 April. Poe lalu meminta maaf di koran sore, menyatakan orang itu tak bisa hadir karena salah satu sayapnya basah.
Salah satu hoax yang sering beredar adalah ancaman asteroid menghantam bumi hingga menyebabkan kiamat. NASA, pada 2015, membantah rumor asteroid jatuh dan mengakibatkan kerusakan besar di bumi.
Menurut mereka, asteroid yang berpotensi berbahaya memiliki 0,01 persen berdampak pada bumi selama 100 tahun ke depan.
"Kalau ada objek besar yang akan merusak pada September, tentu kami sudah bertindak sekarang," kata Manajer Objek Dekat Bumi NASA Paul Chodas, pada Agustus 2015.
Penggunaan kata Hoax mulai populer sekitar tahun 2006. Seiring kemunculan film berjudul Hoax, yang dibintangi Richard Gere dan disutradarai Lasse Halstorm.
Film Hoax sebenarnya diambil dari Novel karya Clifford Irving dengan judul yang sama. Namun karena isi dari Film Hoax tersebut banyak melenceng dari Novel karyanya, Clifford Irving akhirnya mengundurkan diri dari pembuatan film tersebut.
Sejak saat itu, Film Hoax dikenal sebagai suatu Film yang banyak berisikan tentang kebohongan-kebohongan, dan banyak orang yang menggunakan istilah Hoax untuk menggambarkan berita bohong.
Advertisement
Mengapa Hoax Menyebar?
Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool Simeon Yates, dalam tulisannya yang dimuat di world.edu, Fake News-Why People Believe It and What Can Be Done to Counter It, menyebutkan ada fenomena bubbles atau gelembung dalam penggunaan media sosial atau medsos.
Pengguna medsos cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung medsos tersebut mencerminkan gelembung 'offline' sehari-hari.
Kelompok tersebut kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di medsos, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pihak terkemuka yang memiliki banyak pengikut.
Kecepatan dan sifat medsos yang mudah dibagikan (shareability), berperan dalam penyebaran berita. Sebagaimana ditekankan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menjadi sulit membedakan mana yang palsu dari fakta, dan sudah banyak bukti serta butuh perjuangan untuk menghadapi ini.
Media digital juga membuat lebih sulit untuk membedakan kebenaran konten. Berita online lebih sulit untuk dibedakan.
Masalah berikutnya adalah bahwa mencabut 'berita palsu' di medsos saat ini kurang didukung teknologi. Meskipun tulisan dapat dihapus, ini adalah tindakan pasif, kurang bermakna daripada pencabutan satu paragraf di surat kabar.
Agar memberi dampak, yang diperlukan tidak hanya menghapus posting-an, tetapi menyoroti dan mengharuskan pengguna untuk melihat dan menyadari bahwa berita yang dimaksud sebagai 'berita palsu'.
Jadi apakah berita palsu adalah manifestasi dari masa media digital dan sosial? Tampaknya mungkin medsos dapat memperkuat penyebaran informasi yang salah.
Ini bukan 'persyaratan' teknologi, tapi pilihan--oleh desainer sistem dan regulator mereka (di mana mereka berada). Dan media mainstream mungkin telah mencoreng reputasi mereka sendiri melalui liputan berita 'palsu', membuka pintu ke sumber berita lainnya.