Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan sejumlah bukti kuat terkait kasus dugaan suap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Meski diakui, dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan terhadap Patrialis Akbar KPK tak menemukan bukti berupa uang tunai.
"Jadi perlu dipahami, bahwa operasi tangkap tangan tidak selalu melibatkan atau menemukan uang di lokasi OTT tersebut," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Senin (30/1/2017).
Dalam OTT yang dilakukan terhadap Patrialis, menurut Febri, sudah berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Terlebih, KPK mengantongi alat bukti penerimaan uang dari Basuki Hariman (BHR) terhadap Patrialis Akbar.
Advertisement
"Karena indikasi penerimaan sebenarnya sudah terjadi sebelumnya, sekitar US$ 20 ribu, jadi sebelum Januari (2017) ini sudah ada indikasi penerimaan yang diterima Kakim MK, PAK ini," jelas Febri.
Febri pun membeberkan beberapa bukti yang ditemukan penyidik KPK sehingga langsung menjadikan Patrialis Akbar dan Basuki sebagai tersangka. "Barang bukti yang kita amankan ada tiga, pertama dokumen keuangan perusahaan itu tercatat uang keluar dari perusahaan, kode-kode tertentu dan pihak-pihak tertentu. Kedua ada voucher penukaran mata uang asing, dan ketiga draf putusan MK," ungkap Febri.
Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) di Grand Indonesia bersama seorang wanita. Patrialis diduga melakukan suap uji materi Undang-Undang No 41 tahu 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Selain itu, KPK juga ikut mengamankan Kamaludin (KM) yang diduga sebagai perantara suap.
Patrialis disangka menerima suap dari Basuki Hariman (BHR) dan NG Fenny (NGF). Basuki merupakan ‎bos pemilik 20 perusahaan impor daging, sedangkan NG Fenny adalah sekretarisnya.
Oleh Basuki, Patrialis Akbar dijanjikan uang sebesar USD 20 ribu dan SGD 200 ribu. Diduga uang USD 20 ribu dan SGD 200 ribu itu sudah penerimaan ketiga. Sebelumnya sudah ada suap pertama dan kedua.
Sebagai penerima suap, Patrialis Akbar dan Kamaludin dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Basuki dan NG Fenny sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Paasal 13 UU No 31 tahun 1999 diubah dengan UU No 20 tahun ‎2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.