Liputan6.com, Jakarta - Pilkada DKI Jakarta tak hanya diramaikan persaingan antarcalon dengan berbagai visi misinya. Namun di balik hiruk pikuk pesta demokrasi itu, terselip polemik munculnya spanduk bernada provokatif.
Tak tanggung-tanggung, spanduk itu terpasang di sejumlah masjid dan musala di wilayah Jakarta. Isinya, larangan menyalatkan jenazah pendukung penista agama.
Bila menengok ke belakang, munculnya spanduk yang dinilai provokatif itu bukan tanpa sebab. Dugaan tindak pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama adalah pemicunya.
Advertisement
Berbagai penolakan dari sebagian warga DKI mulai terlihat ketika kasus ini menjadi konsumsi publik. Awalnya, penolakan dilakukan dengan aksi turun ke jalan. Sebagian masyarakat menuntut proses hukum atas Ahok yang dianggap telah menodai Surat Al Maidah ayat 51. Bahkan aksi turun ke jalan digelar hingga berjilid-jilid.
Spanduk provokatif pertama kali dilaporkan muncul di Masjid Al Jihad, Gang BB, Kelurahan Karet, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Kemudian menyusul di masjid lainnya, di antaranya di Cakung dan Kalibata pada 25 Februari lalu.
Seiring berjalannya waktu, spanduk provokatif itu menuai berbagai reaksi. Salah satunya dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Ia mengatakan, masjid seharusnya menjadi perekat persaudaraan umat dan bangsa.
"Marilah kita jadikan rumah ibadah sebagai tempat yang paling aman, dan karenanya tidak boleh justru menjadi tempat sumber munculnya keresahan dan pertikaian antarkita," ujar Menag Lukman dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu 25 Februari 2017 lalu.
Menag berharap semua pihak bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan ujaran atau memasang spanduk atau selebaran yang justru bisa merusak persatuan umat dan bangsa.
Masih kata dia, dalam suasana dengan tensi politik yang kian meninggi, umat beragama harus dapat menempatkan ajaran agama sebagai faktor perekat ikatan persaudaraan sebangsa.
"Nilai-nilai kemanusiaan harus menjadi arah pengamalan ajaran agama sehingga persatuan dan kesatuan bangsa tetap terjaga," kata Menag.
Untuk itu, ia mengajak seluruh penanggungjawab, pengurus, dan pengelola rumah ibadah, untuk tidak menjadikan rumah ibadah sebagai tempat yang bisa memicu konflik antarsesama umat beragama.
"Janganlah perbedaan pilihan politik dan keyakinan paham keagamaan sampai memutus hubungan persaudaraan kita seagama, sebangsa, dan persaudaraan sesama umat manusia," kata Lukman.
Selain itu, aparat penegak hukum juga bereaksi. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Fadil Imran menyimpulkan spanduk provokatif di sejumlah masjid di Jakarta yang bertuliskan larangan menyalatkan jenazah pendukung penista agama merupakan tindakan pidana.
"Menurut saya yang menuliskan itu (di spanduk) real crime. Dia memasang, kok," kata Fadil dalam diskusi publik 'Penebaran Kebencian, Problem Intoleransi, dan Peranan Penegak Hukum' di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Senin 27 Februari 2017 lalu.
Penyidik Polda Metro Jaya, kata Fadil, juga masih mendalami tindakan tersebut. Apabila ditemukan adanya unsur pidana, akan dilakukan tindakan.
"Saya rasa kalau ada unsur pidananya, polisi pasti berbuat. Pasti bertindak," ucap mantan Kapolres Metro Jakarta Barat ini.
Sementara, Mabes Polri melalui Kepala Divisi Humas Irjen Boy Rafli Amar juga merespon spanduk provokatif itu. Menurut dia, imbauan dengan tidak menyalatkan jenazah pendukung penista agama sama sekali tidak dibenarkan.
"Saya pikir itu sebuah aliran yang memberikan pendidikan tidak baik. Penting untuk meluruskan isu sesat ajaran-ajaran yang tidak mendasar," kata Boy.
Boy mengimbau masyarakat tidak terprovokasi dengan maraknya spanduk yang mengajak tidak mensalati warga akibat pandangan politik yang berbeda.
"Oleh karena itu masyarakat tidak boleh terprovokasi," kata Boy.
Lalu apakah penyebar spanduk bisa dikenai pidana?
"Ya," jawab Boy.
Kerahkan Intelijen
Â
Lain halnya dengan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Sumarsono. Ia menduga spanduk-spanduk itu berasal dari satu sumber. Sebab, menurut dia, huruf dan jenis cetakan spanduk itu sama persis satu sama lain.
Ia pun tak yakin, bila warga sekitar masjid yang memasang dan memproduksi spanduk tersebut.
"Spanduk itu hampir dapat dipastikan yang masang banyak bukan oleh masyarakat sekitar, bukan oleh warga sekitar masjid itu sendiri. Karena hampir semua tulisan spanduk itu seragam, hanya warnanya beda-beda, kemungkinan iya (satu sumber). berarti ada yang menggerakkan," ucap Sumarsono.
Intelijen pun dikerahkan untuk mencari tahu aktor di balik spanduk provokatif itu.
"Intelijen pasti sudah bergerak ya, membahayakan ketertiban umum dan ketentraman, sudah langsung dicopot saja," ujar Sumarsono di Balai Kota, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin 13 Maret 2017.
Sumarsono menyebut selama bulan Maret, terdapat 147 spanduk provokatif yang sudah ditertibkan Pemprov DKI. Sebab ia menganggap spanduk tersebut amat meresahkan dan melanggar ketertiban umum.
"Sekarang sudah 147 spanduk provokatif dicopot oleh Satpol PP, dicopot bukan hanya oleh Satpol PP saja, tapi juga oleh kesadaran warga," ujar pria yang karib disapa Soni.
"Kedua berbau SARA, meresahkan, melanggar ketertiban umum langsung dicopot," dia melanjutkan.
Sementara, Kepala Satpol PP DKI Jakarta Jupan Royter mengatakan, pihaknya telah menerima banyak aduan dari masyarakat terkait beredarnya spanduk berbau SARA. Karena itu Jupan mengaku, jajarannya telah banyak menurunkan spanduk yang dimaksud.
"Yang paling banyak di (Jakarta) Selatan. Anggota saya juga sudah banyak (tertibkan)," ujar Jupan di Jakarta, Minggu 5 Maret 2017 lalu.
Jupan mengaku, pihaknya telah berulangkali mengimbau kepada masyarakat agar tak membuat kegiatan yang dapat meresahkan publik. Satpol PP juga bekerjasama dengan Ketua RT dan RW setempat untuk menjaga ketertiban bersama.
"Kita minta teman-teman, RT/RW untuk bisa merangkul semua, melakukan pendekatan dan pencerahan kepada masyarakat," tutur dia.
Dia berharap, masyarakat tak mudah terprovokasi dengan munculnya spanduk SARA. Satpol PP juga menegaskan, akan menurunkan spanduk-spanduk berbau provokasi dan SARA, apalagi jika tidak ada izin resmi pemasangan.
"Yang penting kita sama-sama menjaga ketertiban. Marilah kita hidup berdampingan dengan damai, taat kepada aturan, Perda, jangan merasa paling benar," ucap Jupan.
Advertisement