3 Kiai Kondang Bicara soal Politik dan Agama

Politisasi SARA di Pilkada DKI membuat suasana Jakarta sempat menjadi hangat. Sejumlah kiai pun bicara terkait hal itu. Bagaimana uraiannya?

oleh Muhammad AliLuqman RimadiLizsa Egeham diperbarui 15 Mar 2017, 17:12 WIB
Diterbitkan 15 Mar 2017, 17:12 WIB
Spanduk Tolak Salatkan Jenazah Terpasang di 3 Masjid Kawasan Karet Jaksel
Sejumlah anak bermain di halaman Masjid Masjid Mubasysyrin di Jalan Karbela Selatan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Minggu (26/2). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada DKI memasuki babak kedua dengan kontestan dua pasangan calon, yaitu Ahok - Djarot dan Anies - Sandi. Ajang pencarian pemimpin Jakarta ini dijadwalkan akan berlangsung pada 19 April 2017.

Di tengah proses pencarian pemimpin dalam ajang Pilkada DKI, Jakarta diselimuti hawa yang hangat. Iklim tersebut muncul setelah adanya isu-isu provokatif yang tersebar di tengah masyarakat.

Salah satu isu yang santer terdengar di antaranya politisasi SARA. Sejumlah spanduk terpampang dengan isi menyudutkan salah satu pasangan calon tertentu dengan isu terkait dengan keyakinan seseorang.

Presiden Jokowi menilai praktik tersebut merupakan bagian dari demokrasi yang kebablasan. Dia pun mengimbau masyarakat untuk menghindari hal tersebut, karena akan dapat memecah belah persatuan bangsa.

"Harus kita ingatkan, kita hindari. Adanya kebencian, fitnah, saling maki, dan menghujat. Ini kalau diteruskan bisa menjurus kepada pecah-belah bangsa kita," ujar Jokowi di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu, 22 Februari 2017.

Tak hanya sang presiden, sejumlah kiai pun angkat bicara. Mereka merasa gerah dengan suasana Pilkada DKI Jakarta yang tak kunjung sejuk dalam menyikapi warna-warninya. Siapa saja para kiai itu serta bagaimana mereka menyikapi politisasi SARA tersebut? 

Berikut uraiannya yang dihimpun Liputan6.com, Rabu (15/3/2017):

Gus Mus

Hari Jumat, Makin Sejuk Baca Quote dari Gus Mus
Gus Mus salah satu ulama besar panutan umat. Kata-kata bijaknya menyentuh hati. Jumatmu jadi makin sejuk, deh.

Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mustofa Bisri menyoroti banyaknya kontestan di Pilkada serentak 2017 yang mendadak religius, kerap menyambangi tokoh agama, dan mengaku dekat dengan umat.

Mustofa juga menyentil sebagai kalangan yang gemar berteriak Allahu Akbar, tapi tak mengerti makna dari ucapan tersebut.

"Masak urusan Pilkada Gusti Allah diajak? Saya tanya, apa arti sampean mengucapkan Allahu Akbar? Allah Maha Besar. Sebesar apa Allah, kok sampean mengatakan terbesar? Wong pengajian akbar, masjid akbar, dan imam besar juga ada, apa Tuhan sebesar itu?" ujar Mustofa di Masjid Raya Bandung, Senin, 13 Maret 2017.

Gus Mus, sapaan Mustofa, mengaku hanya tertawa kalau ada pihak yang terlibat di pilkada merasa bahwa apa yang diyakini dan dipelajari olehnya merupakan kebenaran mutlak yang sesuai dengan apa yang Tuhan perintahkan.

"Ada yang merasa seperti Gusti Allah. Kalau dia marah dipikir Allah juga marah. Kalau dia geram, dia pikir Allah juga geram. Allah sebesar itu, tapi disuruh ngurusi Pilkada, berani sekali orang-orang Indonesia ini. Jangan mengatakan Allahu Akbar, tapi merasa dirinya lebih besar dengan yang lain," ucap Gus Mus seperti dilansir dari situs resmi NU, nu.or.id.

Said Aqil Siradj

Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siraidj mengingatkan agar masyarakat membedakan masalah politik dengan masalah agama.

"Program kerja aja yang disampaikan (dalam kampanye), program yang baik untuk masyarakat. Enggak usah bawa-bawa Tuhan-lah, ini masalah politik," kata Said Aqil di kantor PBNU Jakarta Timur, Selasa (14/3/2017).

Dia menjelaskan, bila agama dibawa ke dalam politik, maka bisa memicu ketegangan antar masyarakat.

"(Efeknya) itu nanti tegang, nanti tegang. Mengerikan itu nanti. Misalnya pilih saya masuk surga, jangan pilih itu nanti masuk neraka. Enggak usah seperti itulah," tandas Said.

Said Aqil juga mengingatkan bahwa masalah politik yang ada di Indonesia jangan dicampuradukkan dengan agama.

"Allah jangan diajak kampanye, Tuhan diajak kampanye," tutur Said Aqil di Kantor PBNU Jakarta Timur.

Habib Luthfi

Habib Luthfi
Rais Am Jamiyah Ahlu Thariqah al Mu'tabarah an Nahdiyah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. (@HabibluthfiYahy)

Rais Am Jamiyah Ahlu Thariqah al Mu'tabarah an Nahdiyah Habib Muhammad Luthfi bin Yahya mengajak pemuka agama Islam untuk mencontoh cara Wali Songo dalam mendakwahkan Islam. Menurut dia, Wali Songo kala itu sukses mensyiarkan Islam karena memiliki cara yang baik.

"Kita banyak berkiblat ke beliau dengan dasar keberhasilan mensyiarkan Islam di Indonesia. Karena beliau bisa masuk dengan damai. Pasti senjata yang paling ampuh yang beliau amalkan adalah karena beliau bercermin dan bertegung nilai akhlak karimah, adab, sebagaimana Baginda Nabi memberikan tuntunan contoh untuk umatnya," ujar Habib Luthfi di Pekalongan, Rabu (15/3/2017).

Terkait dengan mudahnya masyarakat Indonesia terpancing isu SARA, Habib Luthfi mengimbau para ulama dalam menebarkan nilai kebaikan dapat memberikannya dengan contoh dan budi pekerti yang luhur. Sifat-sifat itu merupakan bagian nilai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

"Itu tugas setiap ulama untuk menyampaikan apa yang diajarkan oleh baginda Nabi SAW. Menjadikan perekat, tuntunan bukan tontonan, memberikan contoh dan budi pekerti yang luhur. Itu di antaranya yang kita pegang," ujar Habib Lutfhi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya