Industri Pertahanan RI Dinilai Butuh Auditor Teknologi

Dengan adanya Auditor Teknologi, industri pertahanan RI bisa benar-benar bersaing di kancah internasional.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 26 Apr 2017, 23:18 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2017, 23:18 WIB
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menyerahkan Pesawat NC212-200 kepada TNI Angkatan Udara.
PT Dirgantara Indonesia (PTDI) menyerahkan Pesawat NC212-200 kepada TNI Angkatan Udara. (Foto: PTDI)

Liputan6.com, Jakarta Industri Pertahanan RI dinilai memerlukan adanya Auditor Teknologi, agar lebih transparan. Sebab, selama ini masyarakat hanya menerima informasi satu arah soal kemajuan industri pertahanan RI, tanpa bisa diverifikasi kebenarannya oleh masyarakat umum.

"Tidak adanya Auditor Teknologi yang mampu menjadi tolak ukur terhadap Industri Pertahanan kita, menjadi penyebab utama terus berpolemiknya persoalan Alutsista di Indonesia," ujar Pengamat Militer Connie Rahakundini Bakrie pada Diskusi Alutsista di Press Room DPR, Jakarta, Rabu (26/4/2017).

Hal itu dibenarkan Mantan Menteri Riset dan Teknologi, Muhammad AS Hikam yang juga menjadi pembicara di acara yang sama. Selama ini industri pertahanan RI seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Dahana, PT Pindad dan lainnua, selalu mengklaim telah mencapai kemajuan.

"Namun masyarakat tak ada akses dan tolak ukur yang dapat dijadikan pembanding dan penentu kewajaran. Jadi seolah kita diminta percaya saja pada klaim yang dipublikasikan," ungkap Hikam.

Hikam menambahkan, dengan adanya Auditor Teknologi, industri pertahanan RI bisa benar-benar bersaing di kancah internasional. "Kalau sekarang, RI klaim unggul, dunia tidak akui, karena tidak ada tolak ukurnya," jelas Hikam.

Senada dengan Hikam, Connie mencontohkan, tidak adanya Audit Teknologi terhadap PT Dirgantara Indonesia, membuat setiap adanya penawaran kerja sama dari produsen alutsista selain Airbus kepada PT Dirgantara Indonesia selalu dilihat sebelah mata.

"Tidak adanya Audit Teknologi, PT DI demi menjaga monopoli Airbus, selalu berlindung di balik wacana adanya upaya asing mematikan BUMN unggulan kita," ujar Connie.

Ia melanjutkan, Airbus sudah bekerja sama dengan PT DI selama 40 tahun tapi hingga hari ini tidak punya heli buatan Indonesia.

"Kita baru mampu membuat komponen, bukan membuat Heli. Bandingkan dengan Airbus yang baru 20 tahun kerja sama dengan RRC, Airbus sudah beri ToT 100%," papar Connie.

Ia menambahkan, dari seri Z5 sampai Z9, baik design lisensi maupun production line ada di BUMN RRC.

"Kenapa PT DI manut saja 40 tahun kerjasama dengan Airbus, cuma menjadi agen penjual Heli. Ini aneh. Bukan ini tujuan didirikannya Industri Pertahanan RI. Cougar contohnya, ToT kita cuma 7%. PT DI harus jelas mau spesialisasi kemana, agar optimal. Jangan semua diambil sendiri lalu tak ada yang jadi," tegasnya.

RI sedang menerima sejumlah tawaran kerja sama Transfer of Technology (ToT 100%) yang datang dari beberapa pihak. Bahkan termasuk dari merk papan atas dunia yang siap membagi 100% teknologi canggihnya ke RI.

"Tapi seolah mentah karena PT DI selalu menuding tawaran ToT 100% sebagai cara asing membunuh industri pertahanan RI. Padahal kalau ada audit teknologi dan fasilitas BPPT, semua terukur dan tidak bisa main klaim sepihak," Tegas Connie.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tubagus Hasanuddin, menyetujui perlunya audit teknologi pada industri pertahanan RI.

"Audit Teknologi memang perlu, tapi jangan sampai mematikan PT DI, melainkan untuk membangun ulang PT DI agar lebih baik lagi. Jadi semangatnya kritik membangun, bukan mematikan PT DI," ujar Tubagus.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya