Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Soleh menyampaikan Fatwa haram medsos menekankan aspek tabayun atau klarifikasi terhadap berbagai konten yang muncul di medsos.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan pengguna medsos ketika menerima sebuah informasi.
Baca Juga
"Sebelumnya kita membahas halal haram, tapi kali ini pedoman yang bersifat sangat praktis. Yang sering kali lazim dilakukan tapi tanpa disadari bahwa itu ternyata suatu kesalahan. Misal tabayyun atau klarifikasi. Umumnya tahu dapat informasi harus tabayun dulu. Tapi tidak dilakukan step-nya," tutur dia di Jakarta Pusat, Jumat, 9 Juni 2017.
Advertisement
Tiga hal yang harus dilakukan saat menerima informasi adalah pertama harus memastikan dan melihat informasi tersebut didasari kredibilitas sumbernya. Selalu ada kemungkinan benar dan salah, sementara yang benar pun belum tentu boleh disebarkan.
"Kalau dalam istilah hadis itu lihat sanadnya (riwayatnya). Sama kalau melihat media atau orang, ini bisa jadi salah satu pintu masuknya informasi. Tapi kalau ketahuan ini media abal-abal dan memang kerjanya untuk kepentingan provokasi, maka riwayatnya nggak layak dipercaya," jelas Asrorun Niam.
Kedua adalah mengetahui isi kontennya dan wajib melakukan validasi atas kebenaran informasi tersebut. Pengguna media sosial juga harus memahami maksud dari penyebaran konten tersebut.
"Korbannya itu tidak mengenal usia dan golongan. Bahkan media yang kredibel juga pernah menyebarkan informasi hoax yang akhirnya belakangan minta maaf," beber Asrorun Niam.
Untuk melakukan validasi juga perlu dapat membedakan ranah umum dan privasi. Banyak masyarakat yang salah kaprah dengan itu sehingga informasi yang bentuknya memancing fitnah dan hoax tersebar dengan sendirinya meski tidak ada maksud menyebarkan.
"Terkadang kita malah kirim ke grup bilang 'mohon konfirmasi'. Kalau kondisinya begitu orang yang enggak tahu malah jadi tahu. Kalau mau Tabayun itu pribadi," kata Asrorun Niam.
Ketiga, dalam bertabayun terhadap informasi yang beredar juga harus memperhatikan konteks ruang dan waktunya. Sebab, hal itu dapat memicu kecemasan publik dan keresahan terhadap situasi yang terjadi pada masa itu.
"Misalnya ada kejadian banjir terus kita share ada banjir tinggi banyak korban. Tapi ditempatkan dalam ruang dan waktu yang salah sehingga seakan-akan terjadi hari ini," terang Sekretaris Fatwa MUI ini.