Liputan6.com, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK membuktikan bahwa sikap toleransi Indonesia diakui dunia. Hal ini terungkap saat dia berbicara dengan Duta Besar Irak untuk Indonesia, pada masa konflik di Aceh.
"Dia ingin ikut sama saya pada waktu itu, dia ingin. Saya bilang, kenapa kau mau ikut? Karena saya ingin sampaikan kepada teman-teman, jangan jadi orang Arab," ucap JK saat memberikan pembekalan kepada Peserta PPSA 21 dan Alumni PPRA 56 Tahun 2017 Lemhanas RI, di Istan Wapres, Jakarta, Senin (20/11/2017).
Hal ini pun membuat JK menjadi penasaran. Dia lantas menanyakan apa alasan duta besar tersebut mengatakan demikian.
Advertisement
Duta besar Irak itu, kata JK, menjelaskan bahwa penduduk Arab tersebut jumlahnya sekitar 300 juta. Namun jumlah itu tersebar di 16 negara dengan banyak persamaan dalam kultur, agama, serta bahasanya.
"Kita (Indonesia) sebaliknya. Bahasa begitu banyak 300-an bahasa suku besar saja, budaya berbeda-beda, warna kulit berbeda-beda, rambut berbeda-beda, agama segala macam, segala agama besar ada di Indonesia ini, tapi tetap bersatu. Orang Arab sebaliknya 16 (negara), berkelahi terus," cerita JK.
Dia menuturkan, ini adalah bagian dari kearifan bangsa Indonesia, dalam menerima keberagaman. Yaitu, dengan mengedepankan teloransi antarsesama.
"Jadi, jadilah orang Indonesia dan itu tentu kita hargai dan nikmati kebersamaan itu sampai sekarang," pungkas JK.
Jakarta Kota Intoleransi?
Setara Institute sebelumnya menyatakan, DKI Jakarta menjadi kota di Indonesia yang mendapatkan peringkat pertama dengan katagori toleransi rendah pada 2017. Padahal dalam penelitian 2015, Jakarta menduduki peringkat 65 dari 94 kota yang dilakukan kajian terkait indeks kota toleran.
Peneliti Setara Institute, Halili mengatakan hal itu disebabkan penguatan intoleransi dan politisasi identitas keagamaan di DKI menjelang, saat, dan setelah Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2017.
"Perubahan signifikan pada indikator peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, pernyataan pemerintah dan tindakan nyata pertama," kata Halili di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (16/11/2017).
Dia menyebut, saat itu terjadi sebanyak 24 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Halili menjelaskan pada situasi itu, tidak terdapat pernyataan terobosan dan tindakan nyata dalam merespons pelanggaran yang ada.
Selanjutnya, dia membandingkan Jakarta dengan Bekasi yang melompat dari kedua terendah toleransinya ke peringkat 53 pada tahun 2017.
"Kemajuan signifikan ini pokoknya didorong oleh semakin positifnya standing pasition oleh wali kotanya dalam merespons peristiwa intoleran," papar Halili.
Sedangkan di lokasi yang sama, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos menyatakan, hasil kota terendah toleransi itu tidak bisa digeneralisir semua masyarakat di kota itu intoleran.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement